Riwayat pageblug 5 abad SM di Athena

ET'PATAH ISCS
Jum'at, 24 April 2020

ATHENA ABAD V SM: JEJAK "ALLAH TAK DIKENAL" TATKALA PAGEBLUG MELANDA+)

Oleh Dr. Bambang Noorsena

+) Rewriting dalam bentuk singkat dari artikel lawas untuk Refleksi Ziarah "Greece-Turkey: Seven Churches and Cappadocia Biblical Trip", tanggal 19-29 April 2019.

1. PRAWACANA
Ketika dituduh memberitakan dewa-dewa asing, di Areopagus, Rasul Paulus justru memuji ketekunan religius rakyat Athena, lalu mencari titik temu dalam dialog teologis: "...aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan kepada Allah yang tidak dikenal" (ΑΓΝΩΣΤΩ ΘΕΩ, "Agnosto Theo"). Orang-orang Athena tidak asing dengan pledoi Rasul Paulus, karena semua orang mengenal filsuf besar mereka, Epimenides, yang pernah memberikan nasehat ketika kota mereka diserang Κυλώνειον αγος "kulóneion agos" (wabah sampar). Catatan sejarah kuno di bawah ini menolong kita untuk memahami latarbelakang peristiwa yang dicatat dalam Kis. 17:16-34, yang membuktikan bahwa narasi Alkitab adalah benar-benar historis.

2. "PAGEBLUK" ATHENA KUNO DALAM CATATAN SEJARAH
Menarik sekali, kisah "Pageblug Athena" dan kedatangan Epimenides yang dimintai nasehat untuk mengatasi wabah di kota para filsuf itu, diabadikan dalam sumber-sumber sejarah Yunani kuno, antara lain Diogenes Laertius (200-250 M) dalam bukunya Lives of Eminent Philosophers Book. I,10 yang mencatat demikian:
"Karena itu, pada saat warga Athena diserang wabah sampar, seorang peramal wanita dari Pythia melakukan pentahiran kota, dan kemudian atas perintah Nikias putra Neceratus, mereka mengirim sebuah kapal ke Kreta untuk meminta nasehat kepada Epimenides. Epimenides pun tiba pada tahun ke-46 Olimpiade, untuk mentahirkan kota mereka, dan menghentikan wabah tersebut dengan cara diambilnya domba-domba terbaik, sebagian hitam dan lainnya putih, lalu membawa domba-domba itu ke bukit Areopagus.
Di sana domba-domba tersebut dibiarkan pergi merumput kemana suka, lalu memerintahkan penduduk kota itu mengikuti domba-domba itu dan menandainya di tempat di mana masing-masing domba tersebut berbaring, lalu mereka mempersembahkan kurban kepada seorang Allah di tempat itu. Dengan demikian, konon setelah peristiwa itu wabah segera mereda. Karena alasan tersebut, bahkan sampai hari ini, altar tanpa tertulis nama di atasnya itu, bisa ditemukan di berbagai bagian Athena sebagai peringatan atas pendamaian kota" (R.D. Hicks, Diogenes Laertius: Lives of Eminent Philosophers. Book 1-5 (Harvard: Loeb Classical Library, 1979), p. 12-13.
Kapankah Epimenides mengunjungi Athena? Ada beberapa perbedaan dalam catatan sejarah. "Epimenides pria rohani yang baik itu, telah mengunjungi kotamu", tulis Plato dalam bukunya Nomos (Hukum), Vol. I, hlm. 642 D, "sepuluh tahun sebelum perang Persia" (ελθών δε προ των περσικών δέκα ετεσιν πρότερον, "elthón de pro tón Persikón déka etesin próteron", sekitar abad kelima SM. Masih di zaman yang sama, Thucydides dalam bukunya History of Peloponnesian War mencatat wabah itu diduga muncul karena mengganasnya bakteri yang menyebar cepat di kota Athena. Sekitar 75 ribu hingga 100 ribu orang, kira-kira 25% dari jumlah penghuni Athena, telah mati akibat Κυλώνειον αγος "kulóneion agos" (wabah sampar). itu. "Orang-orang yang sehat dan bugar-bugar saja", tulis Thucydides, "mendadak tubuhnya panas, radang pada bagian mata, dan napas sesak tidak seperti biasa".

3. "OPTIMIS, IKHTIAR, BERDOA DAN TETAP TINGGAL DI KOTA
Bagaimana para cerdas cendekia Athena menghadapi bencana ini? Optimis, ikhtiar berjuang dan terus berdoa. Karena itu, Nikias putra Neceratus, pemimpin kota itu, berupaya meminta nasehat Epimenides dari Kreta, setelah paranormal dari Pytia itu "angkat tangan" tak sanggup menyarankan solusi apapun. Dan sekalipun banyak orang pesimis sampai menurunkan keyakinan religius mereka, karena wabah yang tak kunjung henti melanda, namun sang pemimpin dan banyak rakyat yang lain tetap optimis dan patuh pada nasehat sang filsuf, untuk berdoa kepada Dia di "altar tanpa nama". Karena berbeda dengan para agamawan yang sering sok tahu tentang Tuhan dan cenderung memutlakkan definisi tentang-Nya, sang filsuf dengan jujur mengajar kita untuk mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang-Nya, hingga altar itu dibiarkan kosong tanpa nama dewa di atasnya.
Para cendekiawan Athena menyebut wabah itu dalam bahasa Yunani Επιδημία "Epidemia". Istilah ini berasal dari kata Επι "epi" (pada) dan δῆμος "dêmos" (rakyat, masyarakat), maksudnya "pada rakyat sendiri". Konon, kata itu diciptakan secara definitif sudah melokalisir wabah itu agar memutus mata rantai penjalarannya lebih luas lagi. Namun masih ada saja orang yang kelewat "PD" merasa diri "otot kawat balung wesi" bak "Raden Gatotkaca" dan terus melanjutkan perang. Nyatanya mereka bukan makhluk yang kebal maut, "wadya bala" Pagebluk pun menjemput dan mengantarkan orang-orang sakti itu ke alam para dewa mereka. Memang itu tak selalu harus "lockdown", buktinya banyak dari mereka yang masih mempersembahkan korban di Areopagus.
Sekalipun mungkin ritualnya tak lagi berdesak dalam gegap, barangkali pula mereka memuja-Nya dalam diam dan pasrah, tanpa riuh-rendah, seperti yang sering kita lihat dari lakon berseri "kaum saleh yang salah". Namun masih untung besoknya segera berubah, karena ternyata takut mati juga. Dhuh Gusti Allah, nyuwun gunging pangaksami, yang penting rakyat banyak diselamatkan dari korban info kaum "fatalis jabariah" yang bertindak demi asma Paduka.

4. "STAY AT HOME": SELAMATKAN KEHIDUPAN!
Padahal bukankah saat מכות מצרים "makot mistsayim" (tulah Mesir) diturunkan, TUHAN justru mewajibkan umat Nabi Moshe (Musa) aleiho shalom merayakan Paskah di rumah masing-masing: "....seorang pun dari kamu tidak boleh keluar pintu rumahnya sampai pagi" (Kel. 12:22). Juga, dalam kasus lain lagi, Allah berfirman: "Mari bangsaku, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintumu sesudah engkau masuk, bersembunyilah barang sesaat lamanya, sampai amarah itu berlalu" (Yes. 26:10).
Dengan sementara saja "stay at home", kita turut serta menjadi "rekan sekerja Allah" dalam menyelamatkan kehidupan, agar "epidemi" yang mewabah "pada lingkungan terbatas" stop menjalar tak menjadi "pandemi" yang lebih luas lagi. Sekedar catatan kecil, kata "pandemi" berasal dari bahasa Yunani πᾶν "pan" (semua)dan δῆμος "dêmos" (rakyat, masyarakat), maksudnya penyebaran penyakit yang akhirnya melampaui batas-batas masyarakat kita sendiri, dan mewabah menyemesta menjadi "pagebluk global". Semoga kita menjadi seorang beriman yang cerdas, jauh dari egoisme agama yang tanpa sadar "nggajah kelar" mau merebut takhta Allah.¶


"Minggu Paskah kalender Yulian", Malang, 19 April 2020


----
Anda juga bisa mengikuti artikel-2 tentang "Agnosto Theo" lainnya di tautan berikut ini:

1. Tulisan Pertama dari Tiga Tulisan
AGNOSTO THEO: INJIL DI PASAR RAYA AGAMA DAN ALIRAN FILSAFAT
(CATATAN REFLEKSI DARI ATHENA*)

2. Tulisan Kedua dari Tiga Tulisan
"AGNOSTO THEO" ATAU "AGNOSTOUS THEOUS", APAKAH KISAH RASUL 17:23 SALAH?: CATATAN REFLEKSI DARI ATHENA *)

3. Tulisan Terakhir dari Tiga Tulisan
"AGNOSTO THEO", PENGADILAN SOCRATES DAN PLEDOI ST. PAULUS DI AREOPAGUS:
CATATAN REFLEKSI DARI ATHENA *)

Komentar

Postingan Populer