*Melihat Relasi dalam International Trade sebagai "I-Thou": Perspektif Filsafat Dialogis Buber*
*Melihat Relasi dalam International Trade sebagai "I-Thou": Perspektif Filsafat Dialogis Buber*
Dear readers,
Dalam konteks internasional, perdagangan kerapkali dilihat sebagai "zero-sum game", ketika keuntungan satu negara harus dibayar dengan kerugian negara lain. Namun, perspektif ini alangkah baiknya jika dapat diubah, misalnya dengan melihat relasi-relasi dalam international trade sebagai relasi "I-Thou", seperti yang dikemukakan oleh filsuf dialogis Martin Buber.
*Apakah itu "I-Thou"?*
Dalam filsafat dialogis Buber, "I-Thou" adalah konsep yang menggambarkan relasi antara dua subjek yang saling mengakui dan menghormati keberadaan masing-masing. Dalam konteks ini, "I" (aku) tidak hanya melihat "Thou" (kamu) sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang memiliki keberadaan dan martabat yang sama.
*Melihat Relasi dalam International Trade sebagai "I-Thou"*
Dalam konteks international trade, melihat relasi sebagai "I-Thou" berarti bahwa negara-negara yang terlibat dalam perdagangan tidak hanya melihat satu sama lain sebagai "objek" untuk dieksploitasi, tetapi sebagai subjek yang memiliki keberadaan dan martabat yang sama. Dalam perspektif ini, perdagangan tidak lagi dilihat sebagai "zero-sum game," tetapi sebagai kesempatan untuk saling menguntungkan dan membangun hubungan yang lebih baik.
*Implikasi dari Perspektif "I-Thou" dalam International Trade*
Berikut adalah beberapa implikasi dari perspektif "I-Thou" dalam international trade:
1. *Kerja sama yang lebih baik*: Dengan melihat relasi sebagai "I-Thou", negara-negara dapat bekerja sama lebih baik untuk mencapai tujuan bersama.
2. *Penghargaan terhadap keberagaman*: Perspektif "I-Thou" dapat membantu negara-negara untuk menghargai keberagaman dan keunikan masing-masing.
3. *Pembangunan hubungan yang lebih baik*: Dengan melihat relasi sebagai "I-Thou", negara-negara dapat membangun hubungan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
*Contoh dalam Praktik*
Berikut adalah beberapa contoh bagaimana perspektif "I-Thou" dapat diterapkan dalam praktik international trade:
1. *Kerja sama ekonomi antara negara-negara*: Negara-negara dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan ekonomi bersama, seperti meningkatkan perdagangan dan investasi.
2. *Pengembangan program pembangunan*: Negara-negara dapat mengembangkan program pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. *Pembangunan hubungan diplomatik*: Negara-negara dapat membangun hubungan diplomatik yang lebih baik untuk meningkatkan kerja sama dan saling pengertian.
Penutup
Dalam kesimpulan, melihat relasi dalam international trade sebagai "I-Thou" dapat membantu negara-negara untuk membangun hubungan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan. Dengan perspektif ini, perdagangan tidak lagi dilihat sebagai zero-sum game, tetapi sebagai kesempatan untuk saling menguntungkan dan membangun hubungan yang lebih baik.*
Bagaimana pendapat Anda?
Selamat pagi. Gusti mberkahi
admin, DigiMBA
*note: ditulis dengan bantuan large language model (8 april 2025).
**Martin Buber, I & Thou (karya klasik) . url: V. Christianto | Sekolah Tinggi Teologi Satyabhakti - Academia.edu
***catatan tambahan: Dari sudut pandang pragmatic-realist, tampaknya ada masalah-masalah lain di negeri ini, selain problem tarif impor yang berubah drastis, di antaranya yang disebut dengan early de-industrialisation selain itu juga meningkatnya kontribusi ekonomi intangible. Lihat misalnya artikel D. Rodrik tentang deindustrialization (J. Econ. Growth, 2016, 21). Memang gambaran yang menyeluruh mungkin lebih beragam, bisa saja ada sektor sektor yang mengalami deindustrialisasi dan ada sektor sektor yang terjadi re-industrialisasi. Yang menarik, bahwa proses deindustrialisasi tidak serta merta berarti naiknya kontribusi sektor jasa terhadap GDP. Misalnya, untuk Indonesia: kontribusi sektor manufaktur terhadap GDP: 6.8% (1970-80), 6.0 % (1980-93) dan 1.7% (1993-2003) dan sektor jasa berturut turut adalah 0.5%, 1.1%, 0.5% untuk kurun waktu yang sama (Dasgupta & Singh), sementara India misalnya, kontribusi sektor manufaktur thd GDP: 1.2%, 1.1%, 0.8%, untuk kurun waktu yang sama; dan 1.2%, 1.2%, 1.8% untuk kontribusi sektor jasa untuk kurun waktu yang sama. Dengan kata lain, perlu upaya dan kebijakan nyata untuk meningkatkan kontribusi ekonomi intangible, misalnya yang berbasis kultural dll, yang secara sekilas tidak terlalu terdampak oleh perubahan tariff impor. Dan proses early deindustrialisasi tsb juga dapat dianalisis dari Kaldorian framework, lih. Mis. Sukti Dasgupta & Ajit Singh (Manufacturing, services and premature deindustrialization in Developing countries: A Kaldorian analysis, WIDER research paper, no 2006 / 9).
Komentar
Posting Komentar