RUMAH SANG GARUDA DI TANAH NUSANTARA
CATATAN INDIA DARI ABAD PERTAMA: RUMAH SANG GARUDA DI TANAH NUSANTARA
(Tulisan kedua dari Tiga Tulisan)
Oleh Dr. Bambang Noorsena
1. PURWAKA
Pada waktu pemgusulan rancangan lambang negara, Partai Masyumi menolak simbol garuda Pancasila yang berbadan manusia, karena mirip dengan mitologi. Namun kalau kita meminjam definisi Mircea Eliade, mitos sebagai "simbol-simbol yang dikemas dalam bentuk naratif", justru maknanya positif. Mitos menceritakan hal yang sakral, yaitu kehidupan ilahi yang adikodrati", yang ternyata bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia (Daniel L. Pas, 2001:269). Dalam makna yang demikian, mitos bukanlah sekedar dongeng belaka, melainkan justru bisa menjadi kekuatan luar biasa dalam menarasikan simbol-simbol dan ide-ide besar sebuah bangsa, khususnya pada saat-saat revolusi kemerdekaan Indonesia.
Istilah गरुड "garuda" telah diadaptasi dari bahasa Sanskerta, kendaraan Wishnu yang aslinya sejenis burung elang rajawali. Sejak ratusan tahun simbol ini muncul dalam relief berbagai candi kuno di Indonesia. Sosok Garuda sebagai yang terbesar diantara burung-burung, disebutkan dalam sabda Sri Kresna dalam Baghawad Gita 10:30 yang berbunyi:
वैनतेयश्च पक्षिणाम्
Vainateyaś ca pakṣiṇām.
Artinya: "Diantara para burung,
Akulah Sang Putra Winata/Garuda"
(Nyoman S. Pendit, 1986:219).
Jika ada spesies burung yang disebut-sebut menjadi inspirasi dari lambang negara Indonesia, maka elang jawa (Nisaetus Bartelsi, Javan Hawk Eagle) merupakan sosok paling meyakinkan dari garuda. Sosoknya yang gagah dengan jambul panjang di bagian belakang kepala membuat elang jawa kerap diidentikkan dengan garuda, yang menginspirasi lambang negara kita, Garuda Pancasila.
2. "SWARGA" (SURGA) SANG GARUDA DI
TANAH NUSANTARA
Ketika mengakhiri kisahnya tentang perjuangan garuda membebaskan ibunya, kitab Adiparwa Jawa Kuno mencatat: "Mwang kacaritan sang Garuda mulih maring swarga, mahapawitra ning wang angrengo ri huwus niran anebus Ri Sang Ibu". Artinya: "Sang garuda kembali ke surga, tampak begitu keramatnya, setelah melalui perjuangannya berhasil memerdekakan ibunya" (I Ketut Remen, 1993:47).
Menarik sekali deskripsi sastra tentang "pulangnya Sang Garuda ke surga" dalam deskripsi Adiparwa. Lalu, dimana letak surga itu? Mendukung identifikasi sang Garuda sebagai elang Nusantara, dalam sejumlah literatur India, burung mitologis ini selain dikaitkan dengan India, juga dihubungkan erat dengan kepulauan Nusantara. Hal itu disebutkan dalam literatur India dari abad pertama, yaitu Srimad-Valmiki Ramayana, Kiskindha Parva IV. 39-40, menyebut demikian:
ततो रक्तजलम् भीमम् लोहितम् नाम सागरम् |
गत्वा प्रेक्ष्यथ ताम् चैव बृहतीम् कूटशाल्मलीम् || ४-४०-३९
Tato raktajalam bhimam lohitam namasagaram |
gatva prekshyatha tam caiva braihatim Kutashalmalim ||
Artinya: "Dari sana pergilah ke laut yang berbahaya, namanya Lohita, airnya berwarna kemerahan, kamu akan menjumpai pohon-pohon Kutashalmali di pulau itu" (Govind Bhavan, 1992:1020).
गृहम् च नाना रत्न विभूषितम् |
तत्र कैलास संकाशम् विहितम् विश्वकर्मणा || ४-४०-४०
Graiham ca vainateyasya nana ratna vibhushitam |
tatra kailasa sankasham vihitam vishvakarmana ||
Artinya: "Berkilau permata laksana bukit Kailasa, istana Siwa yang dibangun arsitek surgawi, Vishvakarma. Itulah rumah Sang Garuda, putra Vinata, akan kamu jumpai di sana" (Govind Bhavan, 1992:1020).
Patut dicatat pula, "Andersonia rohitaka" , yang di tanah Nusantara disebut pohon randu atau kapuk, yang biji-bijinya ditutupi dengan kapas, bersama seuntai biji-biji padi dalam lambang negara menjadi simbol sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pohon Kutashalmali ini tumbuh di Jawa, Sumatera dan wilayah Nusantara lainnya, maka pulau-pulaunya disebut dalam catatan India sebagai "Kutashalmali Dwipa" (Pulau Kapuk), juga merujuk Tanah Nusantara.
Selanjutnya, pulau kapuk yang berada di lautan Lohita yang berwana merah, tempat tinggal putra Winata ini, tidak harus diartikan secara harfiah. Sebab agaknya, warna laut yang kemerahan secara romantis menggambarkan lautan Indonesia yang memantulkan sayap-sayap garuda yang berwarna merah (raktapaksa, "sang sayap merah"). Sedangkan disebut "Sagaramadu" (samudra madu), karena lautan itu memantulkan warna tubuh Sang Garuda yang dijuluki sebagai svarṇakāya, '"Sang Tubuh emas'", yang laksana madu.
3. CATATAN AKHIR
Garuda Sweta-Rohita (Garuda Merah-Putih) adalah bukan burung sembarang burung. Melalui sejarah mitologi yang panjang, bahkan merupakan sintesis dari budaya dan gugusan-gugusan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dari berbagai zaman yang berbeda dan sarat dengan spiritualitas semesta. Sekalipun pemaknaannya mula-mula berasal dari India, namun uniknya sastra India sendiri merujuk istana Garuda di Tanah Nusantara
Kita patut berbangga, bahwa negeri ini telah memberi inspirasi kepada Srimad Valmiki, penulis Ramayana India, sejak abad pertama tarikh Masehi, tidak lama setelah "Verbum caro factum est" (kedatangan Kristus ke bumi sebagai manusia). Selanjutnya, karena nilai-nilai yang diformulasikannya mewakili cita-cita bangsa dan negara kita, maka para bapa bangsa kita tanpa ragu-ragu seakan-akan telah "mengambilnya kembali" Sang Garuda sebagai lambang negara kita. Jadi, setelah menyelesaikan tugasnya membebaskan bangsa-bangsa, lalu Sang Garuda pulang ke surga (sang Garuda mulih maring swarga), melalui jalan para wanara mencari Sita, kekasih Rama, yang ternyata adalah Tanah Nusantara.©
Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.
Komentar
Posting Komentar