“AGNOSTO THEO ”, PENGADILAN SOCRATES DAN PLEDOI ST. PAULUS DI AREOPAGUS

ET'PATAH ISCS
Jum'at, 07 Juni 2019

"AGNOSTO THEO ", PENGADILAN SOCRATES DAN
PLEDOI ST. PAULUS DI AREOPAGUS:
CATATAN REFLEKSI DARI ATHENA *)

Tulisan Ketiga dari Tiga Tulisan

Oleh Bambang Noorsena

*) Bahan Refleksi Ziarah dalam rangka "Greece-Turkey: Seven Churches and Cappadocia Biblical Trip", 19-29 April 2019.

4. PENGADILAN SOCRATES DAN PLEDOI ST. PAULUS

4.1. "EKKLESIA" ATAU AREOPAGUS: MEMBANGUN TEMBOK ATAU MEMBANGUN JEMBATAN?

Seperti yang ditulis Plato dalam bukunya Apologia, Socrates (469-399 SM) dipidana mati oleh εκλλεσια "ekklesia" (pengadilan) Athena, karena dituduh meracuni pikiran para pemuda, mengajarkan ilah-ilah asing, dan αθεος "atheos" (menyangkal ilah) yang diakui oleh negara. Kira-kira enam abad setelah Socrates, St. Paulus juga diadili di Areopagus, di kota yang sama, yang dituduh sebagai "pemberita ajaran dewa-dewa asing" (Kis. 17:18). Μenariknya lagi, keduanya juga berinteraksi dengan para penyair sebagai salah satu dari profesi penting di Yunani kuno. Bedanya, kalau Socrates menyerang keras para penyair yang pandangannya tidak disetujuinya, St. Paulus justru mengutip salah satu syair dari penyair mereka, Aretes: "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu" (Kis. 17:28). Bertitiktolak dari syair ini, St. Paulus melakukan reinterpretasi demi pewartaan Injil.

Di pengadilan Yunani kuno yang disebut εκκλεσια "ekklesia" itu, sebelum vonis mati dijatuhkan karena pemikiran-pemikirannya, Socrates menyerang balik para penuduhnya yang semena-mena. Socrates laksana "membangun tembok" yang memisahkan antara "Aku" dan "engkau". Sebaliknya, tepat di Bukit Mars, di kota yang sama, St. Paulus malah "membangun jembatan", yang menempatkan pandangan filsafat dan keyakinan yang berbeda-beda dalam relasi "kita". "Karena kita berasal dari keturunan Allah", demikian pledoi St. Paulus, "kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia" (Kis. 17:29). Harus dicatat pula, dalam Injil kata "ekklesia" adalah terjemahan dari istilah Ibrani קהל "Qahal", artinya "jemaat", atau "gereja", seperti disebutkan: "...dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku (μου την εκκλησίαν "mou ten ekklesian") dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat. 16:18).

Itulah sebabnya, dalam pleidoinya di Areopagus, St. Paulus tidak merujuk Socrates yang frontal dan konfrontatif, melainkan lebih memilih kisah Epimenides yang lebih inspiratif dan jauh menyentuh kedalaman spiritualitas rakyat Athena, tetapi dengan jitu tetap kritis mengoreksinya. Padahal seperti St. Paulus tidak asing dengan pemikiran para filsuf dan para penyair Yunani pada zamannya, pasti ia tidak asing dengan pemikiran Socrates. Socrates menyerang frontal pemikiran yang tidak disetujuinya, St. Paulus mencari celah dan dengan tepat dia memasukkan ide-ide teologisnya, dan seperti "membangun jembatan" supaya bukan hanya dia, tetapi juga generasi sesudahnya bisa menyeberanginya, demi dan untuk memenangkan ide-ide teologisnya yang konstrukstif, inovatif, kontekstual, dan membebaskan.

Socrates menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi, dan bukan untuk pembebasannya dari tuntutan hukum. Di depan ekklesia, Socrates terus berfilsafat, menyerang kepalsuan ide-ide zamannya, sebelum menyambut kematiannya dengan gagah berani:

αλλά γάρ ηδη ὥρα άπιἐναι, ὲμοί μὲν ἂποθανουμἐνῳ, ὑμῖν δὲ βιωσομἐνοις, όποτἐροι δὲ ἡμὥν ἔρχονται ἐπὶ ἂμεινον πράγμα, ἂδηλον παντὶ πλἡν ή τᾧ θεῷ.
"Allá gar idi hora apienai, emoi men apothanoumeno, humin de biosomenois, opoteroi de himon erchontai epí ameinon prágma, adilon panti plin hí tó Theó".
Artinya: "Namun sekarang telah tiba waktunya kita pergi. Aku akan pergi untuk mati, kamu akan pergi untuk hidup, tetapi siapa di antara kita yang memberikan yang lebih baik, tidak seorangpun mengetahui selain oleh Allah" (Harold North Fowler, 1990:144-145). Akhirnya, racun itu telah mengantarkan Socrates ke gerbang kematian, tinggal tubuh yang membiru membujur kaku.

Jalan hidup St. Paulus agak berbeda. meskipun akhirnya menjadi "martyr" juga di Roma, namun dengan pendekatannya yang merangkul dan membimbing, menegur tanpa menyakiti, banyak orang telah dibimbingnya ke jalan pertobatan, salah satunya Dionisius, Damaris dan banyak lagi lainnya. Logos, Sang Kristus pra-eksisten itu, secara anonim pernah menyelamatkan rakyat Athena dari wabah sampar, enam ratus tahun sebelum Inkarnasi-Nya ke dunia. Dan di Areopagus, bukit yang ditahbiskan demi nama dewa perang Mars, St. Paulus membawa kabar damai, dengan menuturkan kembali kisah lama Epimenides dari Kreta, yang pernah membimbing rakyat Athena menyeru-Nya di sebuah altar tanpa nama, di kota para filsuf ternama di dunia.

4.2. ANTARA "TUHAN"-NYA SOCRATES DAN TUHANNYA ST. PAULUS: SAMA ATAU BERBEDA?

Seperti St. Paulus yang menyadarkan kaum Athena "… bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu ciptaan kesenian dan keahlian manusia" (Kis. 17:29), Socrates juga mengkritik dengan gaya yang lebih lugas:
οταν εἰκάζῃ τις κακῶς (οὐσίαν) τῷ λόγῳ, περὶ θεῶν τε καὶ ἡρώων οἷοί εἰσιν, ὥσπερ γραφεὺς μηδὲν ἐοικότα γράφων οἷς ἂν ὅμοια βουληθῇ γράψαι.
Otan eikaze tis kakós (ousian) tó logó, peri Theón te kai heróón oioi eisin, hósper grapheus meden eoikota graphón ois an omoia boulethe graphai.
Artinya: "Ketika seseorang menggambarkan dengan buruk dalam ucapan mereka tentang para ilah dan para pahlawan, ia laksana seperti seorang pelukis yang melukis sesuatu dengan kemiripan yang mereka inginkan namun sama sekali tidak mirip" (Plato, 377e1-3).

Jadi, apakah "Tuhan"-nya Socrates dengan "Tuhan"-nya St. Paulus sama atau berbeda? Apakah Socrates seorang monotheis yang percaya kepada keesaan Allah? Kalau "Ya", mengapa Socrates masih menyebut dewa-dewa dalam sejumlah pidatonya? Beberapa kutipan di bawah ini menjelaskan mengapa orang percaya bahwa Socrates adalah monotheis, atau mungkin henotheis. "Maka Allah itu sama sekali sederhana, benar dalam perbuatan dan perkataan" (κομιδῇ ἄρα ὁ θεὸς ἁπλοῦν καὶ ἀληθὲς ἔν τε ἔργῳ καὶ λόγῳ, "Komide ára ho theós aploun kai alithés én te érgó kai lógo"), kata Socrates menurut "Republic"-nya Plato, "dan tidak mengubah dirinya maupun menipu orang lain dengan penglihatan atau kata-kata atau pemberian tanda-tanda saat bangun atau dalam mimpi" (Republic, 382). Kata ὁ Θεὸς "ho theós" (the God) di sini dalam bentuk tunggal nominatif.

Namun dalam bagian lain Socrates menyebut ilah-ilah dalam bentuk jamak, yang bisa ditafsirkan bahwa ia juga mengakui keberadaan ilah-ilah lain selain Allah, atau minimal AIlah yang dipahaminya. "Kalian setuju kemudian, kataku," ujar Socrates, "Inilah norma atau kanon kedua kami mengenai pidato dan puisi tentang para dewa (τοῦτον δεύτερον τύπον εἶναι ἐν ᾧ δεῖ περὶ θεῶν, "toúton deuteron tuton einai en hó dei peri theón"), mereka bukan penyihir yang berubah bentuk atau menyesatkan kita dengan kepalsuan dalam kata-kata atau perbuatan". Sifat-sifat Tuhan seperti ini mencirikan keesaan-Nya, tetapi Socrates masih mengakui dewa-dewa lainnya (Kata θεῶν "theón" di sini dalam bentuk plural genetif).

"Mereka, kaum Athena, yang telah menyebarkan laporan ini ke luar negeri, adalah musuhku yang berbahaya", ucap Socrates lagi, "mereka yang mendengarnya akan berpikir bahwa orang yang menyelidiki masalah ini bahkan tidak percaya pada dewa-dewa" (οἱ γὰρ ἀκούοντες ἡγοῦνται τοὺς ταῦτα ζητοῦντας οὐδὲ θεοὺς νομίζειν "oi gár akoúontes igoúntai toús tauta zitoúntas oudé theoús nomízein"). Kata θεοὺς, "theoús" adalah bentuk plural akusatif, mengesankan Socrates mengakui adanya ilah-ilah lain. Namun, pada bagian lain, Republic 19a, Socrates memakai kata θεῷ "theó" (Allah) dalam bentuk singular datif. Di sini, Socrates seperti menegaskan keesaan-Nya: ὅμως τοῦτο μὲν ἴτω ὅπῃ τῷ θεῷφίλον, τῷ δὲ νόμῳ πειστέον καὶ ἀπολογητέον. "Homós toúto mén íto ópi tó theóphilon, tó dé nómo peistéon kaí apologitéon" Artinya: "Namun biarlah hal ini menyenangkan Tuhan, hukum harus dipatuhi dan saya harus membela diri" (Republic 19α).

Jadi, benarkah Socrates adalah seorang monotheis? Kalau monotheis mengapa Socrates masih nenyebut "ilah-ilah" dalam bentuk plural, entah itu berhubungan atau tidak dengan θεῷφίλον "theóphílon", yaitu Allah yang disenangkannya, atau minimal sesuai dengan konsep yang dipilihnya. Namun St. Paulus juga menggunakannya dalam ungkapan yang serupa: "Sebab sungguhpun ada apa yang disebut 'ilah', baik di sorga maupun di bumi", tulis Sang Rasul, "dan memang benar ada banyak 'ilah' dan banyak 'tuhan' yang demikian (ὥσπερ εἰσὶν θεοὶ πολλοὶ καὶ κύριοι πολλοί, "hosper eisin theoi polloi kai kurioi polloi), namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Sang Bapa (εἷς Θεὸς ὁ Πατήρ, "eis theos ho Pater"), yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus (καὶ εἷς Κύριος Ἰησοῦς Χριστός, "kaí eis Kurios, Iesous Khristos), yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup" (1 Kor. 8:5-6). St. Paulus merumuskan dengan jelas orthodoksinya, sedangkan Socrates lebih menekankan pilihan etisnya sendiri.

Socrates juga menyebut "theos"-nya dalam bentuk tunggal, tetapi mengakui keberadaan "ilah-ilah lain" baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Relasi antara keduanya tidak dirumuskan dengan jelas, apakah Socrates hanya mengakui hak orang-orang Athena untuk menyembah ilah-ilah mereka, katakanlah semacam henotheisme, yaitu pengakuan bahwa ada banyak ilah-ilah, tetapi Socrates memilih "theos"-nya sendiri, yang betapapun lebih unggul dari ilah-ilah yang dikritiknya? Sebaliknya, St. Paulus mengawali sikap teologisnya dengan menegasikan ilah-ilah lain: "... dan tidak ada Ilah lain selain Allah yang Esa" (1 Kor. 8:4, καὶ ὅτι οὐδεὶς θεὸς ἕτερος εἰ μὴ εἷς. "Kaí hoti oudeis theos utheros ei mi eis"), meskipun secara sosiologis ia mengakui beragam konsep "ilah" dan "tuhan" (1 Kor. 8:5), yang menjadi ruang bagi kebebasan berkeyakinan.

4.3. DEMOKRASI: ANTARA ORTHOPRAKSI DAN ORTHODOKSI

Bukankah gagasan kedua pemikir besar ini, terlepas dari perbedaannya, seharusnya melandasi sikap demokratis kita dalam beragama dan berkeyakinan, bahwa sefanatik-fanatiknya pilihan iman dan orthodoksi kita masing-masing, tetapi harus tetap menyediakan ruang dalam medan "orthopraxi" kita bagi pihak lain yang berbeda untuk bebas memilih sendiri iman dan keyakinannya? Kristus bersabda: "Biarkanlah keduanya (ilalang dan gandum) itu tumbuh bersama sampai waktu menuai" (Mat. 13:30).

Kisah Socrates telah memberikan contoh bagaimana sistem demokrasi buruk "one man one vote", yang telah menjadikannya "martyr" karena kalah suara tipis, bukan oleh kekuatan argumentasi hukum, melainkan praktek pengadilan yang dibajak oleh ketiga kelompok pendakwanya: Anytus, sang politisi demokratik kota Athena, Miletus, sang penyair yang rajin mengungkap tragedi dan Lykon, orator ulung, yang mendominasi ruang εκκλεσια "Ekklesia" (pengadilan) yang tidak adil itu.

Namun, Athena juga telah mencontohkan bagi kita bagaimana di tengah-tengah "agama minoritas" yang didominasi oleh altar Zeus yang berdiri di setiap tempat, ternyata masih memberi ruang bagi yang "agama minoritas", yaitu mereka yang menyembah kepada ilah-ilah yang tidak dikenal. Lucian dalam Philopatris 9,14 mencatat, bahwa di Athena pada zamannya ada suatu kuil yang secara khusus dipersembahkan bagi selain dewa-dewa utama mereka, yang juga bebas disembah dengan sumpah para pemujanya: Νὴ τὸν Ἄγνωστον "Ne ton Agnoston" (Kepada yang tidak dikenal).

Lalu bagaimanakah implementasi dari sumpah Νὴ τὸν Ἄγνωστον "Ne ton Agnoston" pada zaman kuno? Sebuah altar yang ditemukan di Bukit Palatine, di wilayah Roma, yang dibangun kembali sekitar tahun 100 SM, di atasnya tertulis sebuah insksripsi dalam bahasa Latin kuno, menjelaskan fenomena ini:
SEI DEO SEI DEIVAE SAC CAIUS SEXTIUS CAI FILIUS CALVINUS PRAETOR DE SENATI SENTENIA RESTITUIT. 
Artinya: "Apakah demi dewa atau dewi yang suci, Sextius Calvinus, putra Gaius Praetor atas perintah Senat, telah mengembalikan ini" (John Edwin Sandys, 1927:89).

Ungkapan "Sei Deo Sei Deivae" (Apakah demi Dewa atau Dewi), membuktikan bahwa setiap orang bebas menyembah ilah atau ilah-ilah mereka masing-masing, bahkan juga bagi yang konsep teologisnya tidak jelas. Tidak diperlukan syarat harus ada definisi resmi agama yang dipaksakan oleh negara. Ini menjadi contoh bahwa dalam demokrasi Athena yang kita anggap "kafir" ternyata memberi ruang kepada keyakinan minoritas. Sebaliknya, kita yang menganggap diri benar secara ortodoksi, sering bermental imperialisme doktriner, menindas dan melibas hak-hak orang yang berbeda dengan kita.

Setiap orang bebas memaknai Θεὸς "theos" (Ilah) atau θεοὺς "theous" (ilah-ilah) dalam beragam batasan, entah itu monotheis (satu Allah), politheis (banyak ilah), henotheis (hierarki ilah-ilah, mulai yang tertinggi hingga yang terendah), atau pantheis (segala sesuatu adalah Allah), dan isme-isme keagamaan yang masih dilabeli "theos" dalam makna "personal God". Yang lain bisa memakainya secara non-theistik, yang memahami "yang tak terbatas" secara monistik (segalanya adalah satu) tanpa label Θεὸς "theos" (ilah). Semua paham ini dinaungi dengan rumusan: Νὴ τὸν Ἄγνωστον "Ne ton Agnosto" (Kepada yang tidak dikenal). Nah, dalam keragaman pemahaman yang seperti itu, apakah itu Yudaisme yang bercorak monotheistik, Stoa yang cenderung pantheistik, atau malah Epikuros yang agnostis, St. Paulus memberitakan Injil Yesus Kristus: "Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu" (Kis. 17:23).

Jadi, samakah Allah yang disembah St. Paulus dengan ilah-ilah bangsa Athena atau agama-agama pada umumnya? Jawabannya tentu tidak sesederhana "Ya" atau "Tidak" saja. Kalau jawabnya "Ya, sama!", bagaimana mungkin dewa Zeus sama dengan Bapa Surgawi kita dalam Yesus? Mungkinkah "Allah" Islam yang menyerang keilahian Kristus dan posisi khas-Nya sebagai μονογενὴς Θεὸς "monogenes theos" (Anak tunggal Allah) sama dengan Allah Bapa Surgawi yang memberikan putra tunggal-Nya? (Yoh. 1:18; 3:16). Sebaliknya, kalau jawabnya "Tidak, tidak sama!", maka itu berarti setiap agama mempunyai ilah masing-masing, dan kalau kita mengakui eksistensi ilah-ilah lain, berarti ada lebih dari satu Allah. Apakah kita bukan "politheis terselubung"? Mengapa? Karena secara tidak sadar kita mengakui adanya ilah-ilah lain sebanyak jumlahnya agama, meskipun kita berbangga bahwa Allah yang kita sembah lebih besar.

Bukankah narasi-narasi Perjanjian Lama juga mengabadikan sejarah perkembangan pemikiran perjumpaan Israel dengan Allah? Bukankah ayat-ayat: "Siapakah yang seperti Engkau, diantara para ilah, Ya TUHAN..." (Kel. 15:11), atau "Sebab TUHAN maha besar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat daripada segala ilah" (Maz. 96:4), adalah sisa-sisa Henotheisme, yang seakan-akan masih mengakui eksistensi ilah-ilah selain TUHAN, sebelum akhirnya berkembang penuh ke arah Monotheisme, dengan penegasian terhadap ilah-ilah selain-Nya: "... tidak ada ilah kecuali Allah Yang Esa" (1 Kor. 8:4).

Bukankah formula takbir الله اكبر "Allahu Akbar" secara literal mula-mula berarti "Allah lebih besar", yang asalnya juga bisa ditelusuri dari "hierarki" para ilah a-la Henotheisme, dimana Allah "lebih besar" (اكبر "akbara") dibandingkan al-Latta dan Uzza, dewi-dewi Arab pra-Islam? Qus bin Hajjar, salah seorang penyair Arab pra-Islam, mengabadikan paham Henotheis ini dalam syairnya: وبالات والعزى ومن دان بينهما. وبالله أن الله منهن اكبر "Wa bi al-Latta wa al-'Uzza wa man dana dinahuma, wa billahi annallaha minhuna akbar" (Demi al-Latta dan al-Uzza dan orang-orang yang percaya kepada keduanya, dan Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih besar dari keduanya).

5. CATATAN PENUTUP

Melalui wahyu umum, yaitu alam ciptaan ini, manusia berusaha mencari Allah "dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia" (Kis. 17:27). Dalam praxis "Sangkan Paraning Dumadi" ini, dapat dikatakan bahwa semua agama adalah benar, karena melaluinya manusia hendak menjawab panggilan fitrahnya untuk mencari Allah. "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya", tulis Rom. 1:20, "yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih". Namun karena semua orang telah jatuh ke dalam dosa, perjalanan spiritual itu laksana "dibegal Buto Ijo" atau digagalkan oleh kekuatan anti Kristus, yang tidak mampu dilawannya, kecuali karena pertolongan surgawi. Inilah misi wahyu khusus nuzulnya Firman Allah yang menjadi manusia (Yoh. 1:14).

Misi Kristus ke dunia untuk menghancurkan semua perbuatan Iblis, yang hendak menggagalkan manusia dalam perjalanan "mulih marang mulanira" (pulang ke alam keabadian). Karena itu, semua agama adalah benar, laksana temaramnya bulan sabit menunggu sinar bulan purnama, laksana fajar-fajar kebenaran yang menantikan matahari bercahaya penuh. "Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar", dhawuh Nabi Sulaiman, "yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari" (Ams. 4:18). Dan matahari hikmat yang bersinar penuh itu tidak lain Sang Kristus sendiri, yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6).

Maka pesan St. Paulus di Areopagus adalah "derap ganda" Evangelisasi: Pertama, Kristus sebagai puncak pendakian spiritualitas manusia, yang dibuka dari pintu masuk "Agnosto Theo" adalah wahyu umum, seperti yang dilakukan Nomensen di tanah Batak yang juga memulainya dari "Debata Mula Jadi Nabolon". Ini wilayah kognisi, atau teritorialnya teologi kontekstual. Kedua, catatan kritis St. Paulus bahwa Allah, Tuhan langit dan bumi tidak tinggal di kuil-kuil buatan tangan manusia, dan berita gembira tentang Kristus yang bangkit adalah wahyu khusus, seperti yang juga dialami St. Hilarion ketika mengunjungi tanah Arab dan di sepanjang jalan banyak dari mereka yang kerasukan al-Lata dan berseru memohon pembebasan dari setan-setan: بركنا "Barikna!", "Berkatilah kami!" (J. Spencer Trimingham, 1979:106).

Dalam "derap ganda" itu pula, raga dan jiwaku yang kini di Athena, masih terus berdialog dengan Epimenides, sementara rohku tak pernah meninggalkan Yerusalem. Sebab hanya dalam "derap ganda" ini, seperti tulis St. Paulus dalam 1 Kor. 1:22, aku bisa bersaksi kepada para pendaku agama-agama wahyu, seperti "orang-orang Yahudi menghendaki tanda" (Arabic Bible: يَسْأَلُونَ آيَةً, "yas'aluna ayatan", menanyakan ayat-ayat) dan bertukar pikiran dengan kaum cerdik cendekia, seperti "orang-orang Yunani yang mencari hikmat" (Teks asli: σοφίαν ζητοῦσιν, "sophian zitoúsin", mencari kebijaksanaan, filsafat).¶

KEPUSTAKAAN

1. Pieter Willem van der Horst, Hellenism, Judaism, Christianity (Leuven, Belgium: Peeters. 1998).
2. Sir John Edwin Sandys, Latin Epigraphy: an introduction to the study of Latin inscriptions (Cambridge: Cambridge University Press, 1927).
3. Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers. Greek Text and English Translation. Vol. I-II (Harvard: Loeb Classical Library, 2012).
4. Pausanias, Elladós Periegesis (Athena: Cactus, 1992).
5. W.H.S. Jones, Pausanias: Description of Greece ( Harvard: Loeb Classical Library, 2018).
6. Christoper P. Jones, Philostratus: The Life of Apollonius of Tyana. Books. I-IV ( Harvard: Loeb Classical Library, 2012).
7. R.G. Burry, Plato: The Laws. Vol. I-II (Harvard: Loeb Classical Library, 1984).
8. Chris Emlyn Jones and William Fraeddy, Plato: Republic. Vol. I (Harvard: Loeb Classical Library, 1994).
9. J. Spencer Trimingham, Christianity Among The Arabs in Pre-Islamic Times (New York: Librairie du Liban, 1979).
10. Harold North Fowler, Plato Vol. 1: Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo, Phaedrus (Harvard: Loeb Classical Library, 1990).
11. Anna Strataridaki, Epimenides of Crete: Some Notes on his Life, Works and the Verse Κρητες δεί φευσται, dimuat dalam https://dialnet.unirioja.es diakses 21 April 2019.

2019 ¶ ISCS©All Rights Reserved

Artikel sebelumnya bisa diakses di sini: 
1. Tulisan pertama, http://bit.ly/2UUfeap
2. Tulisan kedua, http://bit.ly/2LPbgRa

Tulisan ini juga bisa di akses di www.bambangnoorsena.com


--
Victor Christianto
Founder of The Second Coming Institute, www.sci4God.com
Promoting Javanese "batik" as an Indonesia cultural heritage, www.mybatique.com
Promoting cultural and music events in Jakarta and other cities, www.acaraindo.com
Founder of www.DigiMBA.com, to deliver business education for digital generation
1 New book: From Hilbert to Dilbert at UNM site, url: http://fs.unm.edu/FromHilbertToDilbert.pdf
Our books and papers can be found at:
You can also check the Neutrosophic Journal: 

http://fs.unm.edu/NSS/NSSArticles.htm  

==
We love you all nations, but time is very very limited. Be hurry to repent and receive Jesus Christ. Find a guide to help you repent and receive Jesus Christ, in this link http://www.esnips.com/web/Guidetorepent,
http://www.esnips.com/web/RepentanceGuide.
Print this guide, copy as many as you can, and distribute this to as many countries as you can, including Asian countries such as China, Burma, Thailand, Campuchea, Laos, Srilanka, and Vietnam. Pray and ask to God first before you select a language for your country. That is the message: be hurry be very very very very very hurry to repent and receive Jesus Christ, all corners of the world.
Don't you know that Jesus Christ will come again soon? That is why you should be hurry and quickly to repent and do your repentance. Tweet this message quickly and distribute this message to as many countries as you can including to all your friends quickly, quickly, quickly today. Follow Jesus only at http://www.twitter.com/Christianto2013.
Send this message quickly to all your colleagues and to all your friends. Thank you, Jesus Christ already help you. 

blog: http://guidetorepent.blogspot.com, http://findtheTruthnow.blogspot.com,
http://evangelismwithsocialmedia.blogspot.com
guide: http://GoodNews.getfreehosting.co.uk/digfile/cms/index.php (login with 'visitor')
video: http://youtube.com/guidetorepent,
facebook: http://www.facebook.com/VChristianto,
and follow Jesus only at www.twitter.com/Christianto2013

**KINDLE BOOKS:
authorpage: http://www.amazon.com/-/e/B00AZEDP4E
Articles dictated by Jesus Christ. Book Two. http://www.amazon.com/dp/B00AYR3F9C
Articles dictated by Jesus Christ. Book One. http://www.amazon.com/dp/B00AYR6TJU
by Jesus Christ: How social darwinism ruin America and the World. http://www.amazon.com/dp/B00AZDJJQI
by Jesus Christ: Evangelism for Difficult People. http://www.amazon.com/dp/B00AZDJCLA
by Jesus Christ: How you can do Evangelism with Social Media. http://www.amazon.com/dp/B00AZDXZLI
by Jesus Christ: The Nicene Creed. http://www.amazon.com/dp/B00AZDYMJ2
by Jesus Christ: Logos, Memra, and other letter for Economists. http://www.amazon.com/dp/B00AZDY7JW
by Jesus Christ: our Father in Heaven prayer. http://www.amazon.com/dp/B00AZKZUNM
Some problems of Nuclear Energy development in Asia: A literature survey. http://www.amazon.com/dp/B00B4LW5ZW

Some papers at www.vixra.org:
www.vixra.org/abs/0912.0036
www.vixra.org/abs/0912.0037
www.vixra.org/abs/1001.0005
www.vixra.org/abs/1001.0003
www.vixra.org/abs/0912.0053


Komentar