Al-Salafi
Teks: Yohanes 8:32
"dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
Caution: the following article may be disturbing. Reader's discretion is advised.
Shalom, selamat pagi saudaraku. Sejauh yang saya amati, sebagian besar umat muslim tidak mau diasosiasikan dengan sepak terjang ISIS di Timur Tengah. Sebagian lagi masih ragu-ragu, dan hanya sebagian kecil yang bersimpati kepada mereka atau mau mengakui bahwa ISIS adalah bagian dari umat muslim. Setidaknya demikianlah hasil survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre bulan november lalu di 11 negara.(15)
Dalam konteks ini, sore kemarin (11/8/2016) saya melihat berita baris di salah satu televisi nasional yang mengutip pernyataan Donald Trump bahwa Hillary dan Obamalah yang menciptakan ISIS. Lihat (13).
Meskipun saya tidak terlalu mendalami soal-soal politik, berita baris itu sungguh mengusik pikiran saya. Seberapa jauh elemen kebenaran dalam pernyataan demikian?
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, perlu diberikan catatan awal:
a. Artikel ini masih bersifat hipotetis, dan bukan kajian mendalam tentang geopolitik atau geostrategi atau politik luarnegeri AS. Lihat misalnya (10)(11).
b. saya bukan ahli politik dan artikel ini tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap pencalonan Trump sebagai kandidat presiden Amerika.
c. Dalam artikel ini tidak akan dibahas kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat tersebut. Jika Anda ingin membaca suatu ringkasan tentang dua kandidat presiden Amerika, lihat artikel menarik yang ditulis oleh Ekaputra Tupamahu, kandidat doktor yang sedang menempuh studi di AS (18).
Maksud tulisan ini hanya ingin menyingkap sepercik kebenaran di antara tumpukan dusta, sebagaimana salah satu pepatah jurnalisme mengatakan: jangan hanya membaca apa yang tersirat ("read between the lines"), namun belajarlah membaca di antara kebohongan ("read between the lies").
3 pernyataan
Sejauh yang saya ikuti dalam beberapa bulan terakhir ini, ada 3 pernyataan dari sumber-sumber yang berbeda yang tampaknya berada satu garis dengan pernyataan Trump tersebut:
a. Pernyataan Yousaf Al-Salafi: dalam suatu rangkaian interogasi, salah satu pimpinan ISIS di Pakistan baru-baru ini menyatakan bahwa mereka menerima dana secara teratur dari pemerintahan AS, dan mereka dibayar sekitar $600 untuk setiap orang yang mereka rekrut untuk ISIS.(2)
b. Pernyataan John Brennan, Direktur CIA: bahwa ISIS adalah hasil rekayasa CIA yang kemudian lepas kontrol. Sayangnya link ke berita tentang ini semuanya sudah dihapus atau menjadi broken link. Yang masih belum terhapus adalah pernyataan Brennan membantah Obama yang menyatakan bahwa kekuatan ISIS melemah. (6)
c. Laporan rahasia Pentagon: menyatakan bahwa ISIS diciptakan oleh AS dengan tujuan menggoyang pemerintahan resmi Suriah. (3) Di sisi lain, ada laporan investigatif yang menyatakan bahwa Joint Chief of Staff dari Pentagon memberikan laporan intelijen secara berkala kepada Presiden Suriah, berlawanan dengan rencana Obama. (7)
Meskipun laporan resmi dari Obama administration selalu membantah adanya hubungan atau dukungan langsung terhadap aktivitas ISIS, namun ketiga poin di atas tampaknya menguatkan sinyalemen Prof. Tim Anderson bahwa memang Washington mendukung ISIS (17). Dalam artikelnya, Prof. Tim Anderson antara lain menulis: "In 2006, as al-Baghdadi and others were released, the Bush administration announced its plan for a ‘New Middle East’, a plan which would employ sectarian violence as part of a process of ‘creative destruction’ in the region." (17)
Catatan
a. Jika ketiga pernyataan di atas dilakukan cek silang, maka ada cukup alasan untuk mengatakan bahwa meskipun retorika Donald Trump sering agak sembrono, namun dalam konteks pernyataan tentang ISIS (13), tampaknya ada elemen kebenaran dalam pernyataan tersebut. Namun demikian, memang ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab, misalnya: 1. Benarkah Hillary ikut berperan dalam merancang ISIS sebagai bagian dari kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah, khususnya waktu ia menjabat sebagai Menlu AS?, 2. Apakah memang ISIS merupakan produk CIA yang lalu lepas kendali, atau apakah sampai sekarang mereka terus bekerja di bawah instruksi dari Obama Administration?, 3. Apa saja rencana ISIS ke depan dalam konteks Asia Tenggara? Kiranya pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari analisis politik dan intelijen Kemenlu.
b. Kepada saudara-saudara sesama Kristen, sebaiknya jangan menyamaratakan bahwa semua umat muslim berpandangan radikal seperti ISIS. Sebaliknya, rekan-rekan muslim juga jangan "menggebyah-uyah" bahwa semua orang Kristen sepaham dengan kebijakan luar negeri Obama administration. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Obama administration banyak dipengaruhi oleh Dr. Zbigniew Brzezinski, dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pandangan kristiani (12). Dalam pidatonya sekitar tahun 2007, sebelum terpilih menjadi presiden, Obama memuji Brzezinski dengan kalimat berikut: “he is one of our most outstanding scholars, one of our most outstanding thinkers”... "has proven to be an outstanding friend and somebody who I have learned an immense amount from” (12). Lihat juga (14).
c. Sekali lagi, saya bukan ahli intelijen atau ahli politik, jadi saya sama-sekali tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Namun mengingat bahwa ISIS telah menyatakan perang di websitenya terhadap Malaysia dan Indonesia (9), maka sudah selayaknya badan penanggulangan terorisme (BNPT) melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap ancaman ISIS tersebut, juga terhadap organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya, seperti misalnya Katibah Nusantara. Lihat (8). (Catatan: Katibah Nusantara jelas berbeda dengan gerakan "Islam Nusantara" yang diprakarsai NU.)
d. Kalau melihat sepak terjangnya akhir-akhir ini, setelah berhasil mengacaukan seluruh Timur Tengah tampaknya ISIS akan berusaha menciptakan khaos di Eropa dan juga Asia Tenggara. Itulah yang tampaknya terjadi dengan berbagai serangan di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya dalam beberapa bulan terakhir. Dan bisa jadi mereka akan berusaha melakukan eskalasi serangan di Eropa dalam bulan-bulan ke depan.
e. Ada kemungkinan bahwa ISIS akan meningkatkan serangan ke Barat, seperti disinyalir oleh John Brennan, Direktur CIA (4)(5). Jika hal ini terus terjadi dan tidak dihentikan, maka mungkin itulah yang dimaksud dengan masa Tribulasi (The Great Tribulation).
Penutup
1. Tampaknya ada alasan yang cukup untuk menduga bahwa Obama administration sedang menjalankan kebijakan destruksi kreatif di Timur Tengah sebagaimana yang mereka telah lakukan di Balkan, mungkin atas nasehat Brzezinski (10). Dan kini tampaknya kebijakan destruksi kreatif itu mulai diarahkan ke Eropa Barat dan Asia Tenggara.
2. Secara teologis dan filosofis, kebijakan destruksi kreatif (atau dalam motto: "Creating order out of chaos") dapat dipertanyakan kebenarannya. Lihat (19). Istilah tersebut menjadi populer dalam dunia ilmiah melalui buku Ilya Prigogine & Isabelle Stengers (20). Mungkin saja fenomena termodinamika non-ekuilibrium membenarkan konsep "order out of chaos" namun hal ini tidak dapat begitu saja diterapkan ke wilayah sosial dan politik. Apalagi menjadi kebijakan luar negeri suatu negara untuk merusak wilayah lain.
3. Sekali lagi, memang artikel ini hipotetikal dan mungkin kurang mempertimbangkan dimensi geopolitik secara komprehensif, namun pesan utama di sini adalah supaya BNPT lebih antisipatif terhadap kiprah ISIS di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya.
Versi 1.0: 11 Agustus 2016, pk. 21:45, versi 1.1: 14 agustus 2016, pk. 16:08
VC
note: terimakasih kepada Daniel atas saran-sarannya.
Referensi:
(1) Pamela Geller & Robert Spencer. The post-American presidency: The Obama Administration's war on America. New York: Threshold Editions, 2010
(2) http://nesaranews.blogspot.co.id/2016/07/isis-we-are-being-funded-by-obama.htm
(3) http://www.zerohedge.com/news/2015-05-23/secret-pentagon-report-reveals-us-created-isis-tool-overthrow-syrias-president-assad
(4) http://econlog.econlib.org/archives/2016/06/brennan_admits.html
(5) https://theconservativetreehouse.com/2016/06/16/cia-director-brennan-says-trump-is-right-isis-attempting-u-s-infiltration-via-refugees/
(6) http://www.rushlimbaugh.com/daily/2016/06/16/cia_director_contradicts_obama
(7) http://thefreethoughtproject.com/white-house-cia-supply-terrorists-weapons-topple-assad-u-s-military-feeds-syrian-govt-intel-isis/
(8) https://www.intelijen.co.id/katibah-nusantara-sayap-melayu-isis-dan-ancaman-bagi-asia/
(9) http://news.asiaone.com/news/malaysia/declares-war-malaysia-and-indonesia
(10) Vassilis Fouskas. Zones of conflict: US foreign policy in the Balkans and the greater Middle East. Sterling: Pluto Press, 2003.
(11) Yakub Halabi. US foreign policy in the Middle East. Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009.
(12) Bruno Adrie. In the Foreign Policy Shadow of Dr. Brzezinski: Obama, Islamic Fundamentalism, and Russia. Part I. Global Research, Oct. 2015. Url: http://www.globalresearch.ca/in-the-foreign-policy-shadow-of-dr-brzezinski-obama-islamic-fundamentalism-and-russia/5485727
(13) Binoy Kampmark. Donald Trump and the ISIS factor. Global Research, August 13th, 2016. Url: http://www.globalresearch.ca/donald-trump-and-the-isis-factor/5540902
(14) http://www.hoefgeest.nl/temp/ObamaMSNBC.pdf
(16) Jacob Poushter. Nov. 15, 2015. Url: http://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/11/17/in-nations-with-significant-muslim-populations-much-disdain-for-isis/
(17) Prof. Tim Anderson. The Dirty War on Syria: Washington supports the Islamic State (ISIS) - the evidence. Global Reseearch, December 29th 2015, url: http://www.globalresearch.ca/the-dirty-war-on-syria-washington-supports-the-islamic-state-isis/5494957
(18) Ekaputra Tupamahu. Quo Vadis Amerika? Url: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/quo-vadis-amerika
(19) http://www.zerohedge.com/news/2014-08-15/order-out-chaos-doctrine-runs-world
(20) Ilya Prigogine & Isabelle Stengers. Order out of chaos. New York: Bantam books, 1984.
-------
Komentar dari Dr. David Widihandojo, Pascasarjana UKDW
Menghadapi Kebenaran Membutuhkan Keberanian dan Kejujuran Namun Menyuarakan Kebenaran Membutuhkan Keberanian dan Kejujuran Yang Jauh Lebih Besar Lagi” Confucius
Dear Victor,
Apa yang yang anda kemukakan dalam Speak the Truth to Power bukan sesuatu yang baru. Jika anda ikuti issues politik global masalah ini sudah cukup lama bahkan juga sudah ada hasil penelitian serta buku yang diterbitkan. Namun kita di Indonesia memang cenderung tertinggal jauh – saya tidak tahu mengapa bukankah information just on the finger tip? – bahkan surat kabar dan majalahpun tidak ada yang memberitakannya.
Pengakuan gamblang Hillary dalam 2 wawancara yang terpisah dan penjelasan Putin tentang lahirnya Al Qaeda dan ISIS di Valda Discussian Group, 2014 (www.youtube.com/ watch?v=OQuceU3x2; www.youtube.com/watch?v=PJLR1LhxiN0; www. youtube.com/ watch?v=0zGbhffOxhM) menunjuk keterlibatan US dalam melahirkan Taliban, Al Qaeda dan ISIS. Menurut Putin dan berdasarkan berbagai sumber, ISIS terdiri dari serdadu bayaran (mercenaries) Amerika yang bertujuan menggoyang kekuasan rejim-rejim Islam Timur Tengah karena itu Hillary marah besar sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sebagai seorang pejabat se-level US State Secretary karena koalisi militer Suriah, Rusia dan China menghancurkan basis-basis ISIS di Suriah dan Irak yang mengakibatkan ratusan tentara bayaran dan pelatih militer US menjadi korban.
Sumber lain yang lebih meyakinkan karena berdasarkan penelitian/studi yang mendalam adalah buku Anand Gopal, No Good Among the Living - video Anand Gopal di Henry Wallace National Security Forum dengan judul How US Created Taliban and Al Qaeda dapat anda saksikan di www.youtube.com/watch? v=xYEBX6UlBLU. Dalam bukunya Gopal mengemukakan berbagai data temuannya yang menunjukkan adanya aliran dana, senjata dan keterlibatan pelatih militer US di Taliban dan Al Qaeda. Studi yang lebih serius dilaku - kan oleh Garikai Chengu, peneliti universitas Harvard, dalam America Created Al Qaeda and ISIS Terror Group, yang pada akhir tulisannya menyimpulkan bahwa:
“The so-called “War on Terror” should be seen for what it really is: a pretext for maintaining a dangerously oversized U.S. military. The two most powerful groups in the U.S. foreign policy establishment are the Israel lobby, which directs U.S. Middle East policy, and the Military-Industrial-Complex, which profits from the former group’s actions. Since George W. Bush declared the “War on Terror” in October 2001, it has cost the American taxpayer approximately 6.6 trillion dollars and thousands of fallen sons and daughters; but, the wars have also raked in billions of dollars for Washington’s military elite.
In fact, more than seventy American companies and individuals have won up to $27 billion in contracts for work in postwar Iraq and Afghanistan over the last three years, according to a recent study by the Center for Public Integrity. According to the study, nearly 75 per cent of these private companies had employees or board members, who either served in, or had close ties to, the executive branch of the Republican and Democratic administrations, members of Congress, or the highest levels of the military.
In 1997, a U.S. Department of Defense report stated, “the data show a strong correlation between U.S. involvement abroad and an increase in terrorist attacks against the U.S.” Truth is, the only way America can win the “War On Terror” is if it stops giving terrorists the motivation and the resources to attack America. Terrorism is only the symptom, while American imperialism is the cancer...............” (www.globalresearch.ca/america-created-al-qaeda-and-the-isis-terror-group/ 5402881).
Chengu menunjuk permainan politik (political game) elit politik US yang melahirkan War on Terror dimana terorisme sengaja diciptakan oleh Military—Industrial-Complex US demi kepentingan komersial, dan George Bush berperan sebagai “executive” industri militer US yang mendatangkan duit. Ini menunjukkan betapa tidak sehatnya politik US yang sepenuhnya merupakan arena bermain pemilik modal. Mereka demi kepentingan komersial -nya tidak peduli ribuan nyawa putra-putra US serta kebangkrutan negaranya. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Joseph Stiglitz, Nobel Laureates dan guru besar universitas Columbia, dalam The Price of Inequality yang menunjuk bahwa demokrasi US hanya meng -untungkan segelintir elit dan menciptakan kepincangan sosial yang parah yang berakibat dengan kebangrutan negara. Juga oleh Daniel A Bell, guru besar universitas Princeton, dalam China Democracy & Meritocracy, yang melihat bahwa demokrasi liberal US hanya bekerja demi kepentingan elit bisnis sehingga tidak mampu melahirkan pemimpin negara yang sepenuhnya bekerja bagi kepentingan rakyat dan negaranya. Bagi Bell sistem politik China adalah sebuah demokrasi yang jauh lebih baik karena seleksi pemimpin dilakukan sepenuhnya berdasarkan prinsip meritokrasi bukannya kampanye politik. Kesimpulan Bell ini menggarisbawahi kesimpulan Loretta Napoleoni, guru besar universitas Cambridge, dalam Maonomics: Why China Create Better Capitalism than Us: ”Here we arrive at the heart of the problem if we estimate of the Chinese population’s lack of political freedom, once again it is the fruit of conceptual misunderstanding.”
Jadi selain terorisme juga perlu dikritisi apa yang dikemukan Prof Joseph Nye aebagai upaya US untuk me-liberalisasi politik dan ekonomi semua negara di dunia ini. Prof. Joseph Nye dalam the American Century is Over mengemukakan adalah kebijakan US untuk memper -lemah negara-negara lain demi mempertahankan dominasi globalnya. Nye mengungkapkan keberhasilan US melemahkan Russia melalui Glasnost dan Perestroika dan Jepang dengan memaksakan kebijakan moneter yang melumpuhkan kemampuan ekonominya. Akibatnya Russia berhenti pertumbuhan ekonominya dan Jepang terjebak kedalam stagnasi ekonomi yang akut. Namun US gagal memperlemah China karena sistem politik China begitu kokoh dan tidak mudah disusupi. Para petinggi politik China tegas menolak tekanan US untuk menerapkan demokrasi liberal model Barat serta liberalisasi moneter model IMF/World Bank serta konsisten berjalan dengan sistem dan model pembangunan yang diciptakan sendiri.
Liberalisasi politik atau dikenal sebagai demokratisasi di negara sedang berkembang selalu berakhir dengan macetnya pembangunan, makin lebarnya jurang kaya dan miskin, stagnasi ekonomi, terbelahnya masyarakat, negara terjebak kedalam pertarungan politik yang akut. Sedangkan liberalisasi ekonomi menjebak negara kedalam lumpur hutang dan dibawah tekanan kapitalisme global. Dalam situasi semacam ini maka yang sukses adalah dominasi kapitalisme global dan langgengnya hegemoni imperialisme US. Inilah nasib negara-negara di Timur Tengah dan seluruh negara-negara sedang berkembang yang pro Barat di Asia. Seandainya – jika saja kita boleh berandai-andai – ditahun 1997 China melangkah ke demokrasi politik karena memenuhi tuntutan para mahasiswa naif di Tiananmen dapat dipasikan saat ini China adalah eksportir tenaga kerja murah yang terbesar di dunia bersaing dengan India, Bangladesh, Filipina dan Indonesia. Para demokrat fundamentalis tidak mampu melihat secara jernih bahwa kebebasan dari kemiskinan adalah hak yang sangat mendasar bagi eksistensi seorang manusia, seorang warga negara, dan kehadiran strong state sangat essensial bagi sebuah bangsa untuk melewati transisi keluar dari jebakan kemiskinan dan middle income trap, dua bottle neck yang sangat serius, berbahaya dan mengancam negara yang sedang bertumbuh. Jika negara gagal melewati transisi ini maka akan terjebak kedalam stagnasi ekonomi dan lumpur kemiskinan yang akut.
US adalah adikuasa di abad 19 dan 20 dengan mindset sama yang dimiliki Gaius Julius Caesar 2000 tahun yang lalu yaitu untuk mempertahankan hegemoninya bertumpu sepenuhnya pada kekuatan militer, tekanan politik dan membentuk sekutu (allies). Namun dalam konteks kapitalisme global akhir abad 20 dan diabad 21, strategi ini sudah tidak tepat lagi sehingga dengan cepat dominasi US melemah secara signifikan, kemampuan militernya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena menggerogoti kemampuan finansialnya sehingga kebijakan politik destruktifnya tidak berjalan sukses. Ini nampak jelas dari kasus AIIB dan One Road & One Belt. Dimana para sekutu US membangkang dan berbalik mendukung China, dimulai dengan Inggris kemudian diikuti Jerman, Perancis, Australia, Canada dan Israel berbondong-bondong mendukung China mendirikan AIIB, padahal AIIB didirikan dengan tujuan untuk mengimbangi IMF/World Bank, dimana US memegang peran dominan. Kemudian, mereka juga berbondong-bondong mendukung pembentukan Silk Road Fund untuk membiayai proyek raksasa China One Road & One Belt yang mempersatukan Eropa, Asia dan Afrika melalui jaringan infrastruktur yang kompleks. Dengan demikian terbentuk sebuah pasar bersama raksasa yang menyatukan 3 benua. Ini berarti posisi ekonomi US tidak dominan lagi, pasar utama dunia beralih ke Erasia. Selain itu strategi containment US kepada China di Pasifik melalui kebijakan Obama dan Hilary yaitu Pivot Asia dan Trans Pacific Partnership tumpul karena posisi negara-negara Pacific menjadi minor.
Bagi Indonesia saat ini penting untuk mandiri demi memanfaatkan perubahan percaturan politik global yang multi polar namun hal ini membutuhkan kehadiran sebuah strong state yang dapat mengarahkan seluruh enerji untuk bangkit, untuk melindungi kekayaan negara dari berbagai kebocoran, untuk memanfaatkan kehadiran pasar raksasa Erasia, mematah -kan communism phobia dan mengajak seluruh anak bangsa ini ke wawasan berpikir dan bertindak yang pragmatist-realist. Khusus, bagi mereka kaum Kristiani, sungguh saya amat merindukan mereka memiliki kedewasaan iman, kematangan pribadi dan kebijaksanaan intelektual Dr. J. Verkuyl, theolog, yang secara jernih dapat melihat dan menulis:”…..dikubu Komunisme terletak dosa-dosa gereja…….”
Salam,
David Widihandojo
22/08/2016
"dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
Caution: the following article may be disturbing. Reader's discretion is advised.
Shalom, selamat pagi saudaraku. Sejauh yang saya amati, sebagian besar umat muslim tidak mau diasosiasikan dengan sepak terjang ISIS di Timur Tengah. Sebagian lagi masih ragu-ragu, dan hanya sebagian kecil yang bersimpati kepada mereka atau mau mengakui bahwa ISIS adalah bagian dari umat muslim. Setidaknya demikianlah hasil survei yang dilakukan oleh Pew Research Centre bulan november lalu di 11 negara.(15)
Dalam konteks ini, sore kemarin (11/8/2016) saya melihat berita baris di salah satu televisi nasional yang mengutip pernyataan Donald Trump bahwa Hillary dan Obamalah yang menciptakan ISIS. Lihat (13).
Meskipun saya tidak terlalu mendalami soal-soal politik, berita baris itu sungguh mengusik pikiran saya. Seberapa jauh elemen kebenaran dalam pernyataan demikian?
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, perlu diberikan catatan awal:
a. Artikel ini masih bersifat hipotetis, dan bukan kajian mendalam tentang geopolitik atau geostrategi atau politik luarnegeri AS. Lihat misalnya (10)(11).
b. saya bukan ahli politik dan artikel ini tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap pencalonan Trump sebagai kandidat presiden Amerika.
c. Dalam artikel ini tidak akan dibahas kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat tersebut. Jika Anda ingin membaca suatu ringkasan tentang dua kandidat presiden Amerika, lihat artikel menarik yang ditulis oleh Ekaputra Tupamahu, kandidat doktor yang sedang menempuh studi di AS (18).
Maksud tulisan ini hanya ingin menyingkap sepercik kebenaran di antara tumpukan dusta, sebagaimana salah satu pepatah jurnalisme mengatakan: jangan hanya membaca apa yang tersirat ("read between the lines"), namun belajarlah membaca di antara kebohongan ("read between the lies").
3 pernyataan
Sejauh yang saya ikuti dalam beberapa bulan terakhir ini, ada 3 pernyataan dari sumber-sumber yang berbeda yang tampaknya berada satu garis dengan pernyataan Trump tersebut:
a. Pernyataan Yousaf Al-Salafi: dalam suatu rangkaian interogasi, salah satu pimpinan ISIS di Pakistan baru-baru ini menyatakan bahwa mereka menerima dana secara teratur dari pemerintahan AS, dan mereka dibayar sekitar $600 untuk setiap orang yang mereka rekrut untuk ISIS.(2)
b. Pernyataan John Brennan, Direktur CIA: bahwa ISIS adalah hasil rekayasa CIA yang kemudian lepas kontrol. Sayangnya link ke berita tentang ini semuanya sudah dihapus atau menjadi broken link. Yang masih belum terhapus adalah pernyataan Brennan membantah Obama yang menyatakan bahwa kekuatan ISIS melemah. (6)
c. Laporan rahasia Pentagon: menyatakan bahwa ISIS diciptakan oleh AS dengan tujuan menggoyang pemerintahan resmi Suriah. (3) Di sisi lain, ada laporan investigatif yang menyatakan bahwa Joint Chief of Staff dari Pentagon memberikan laporan intelijen secara berkala kepada Presiden Suriah, berlawanan dengan rencana Obama. (7)
Meskipun laporan resmi dari Obama administration selalu membantah adanya hubungan atau dukungan langsung terhadap aktivitas ISIS, namun ketiga poin di atas tampaknya menguatkan sinyalemen Prof. Tim Anderson bahwa memang Washington mendukung ISIS (17). Dalam artikelnya, Prof. Tim Anderson antara lain menulis: "In 2006, as al-Baghdadi and others were released, the Bush administration announced its plan for a ‘New Middle East’, a plan which would employ sectarian violence as part of a process of ‘creative destruction’ in the region." (17)
Catatan
a. Jika ketiga pernyataan di atas dilakukan cek silang, maka ada cukup alasan untuk mengatakan bahwa meskipun retorika Donald Trump sering agak sembrono, namun dalam konteks pernyataan tentang ISIS (13), tampaknya ada elemen kebenaran dalam pernyataan tersebut. Namun demikian, memang ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab, misalnya: 1. Benarkah Hillary ikut berperan dalam merancang ISIS sebagai bagian dari kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah, khususnya waktu ia menjabat sebagai Menlu AS?, 2. Apakah memang ISIS merupakan produk CIA yang lalu lepas kendali, atau apakah sampai sekarang mereka terus bekerja di bawah instruksi dari Obama Administration?, 3. Apa saja rencana ISIS ke depan dalam konteks Asia Tenggara? Kiranya pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari analisis politik dan intelijen Kemenlu.
b. Kepada saudara-saudara sesama Kristen, sebaiknya jangan menyamaratakan bahwa semua umat muslim berpandangan radikal seperti ISIS. Sebaliknya, rekan-rekan muslim juga jangan "menggebyah-uyah" bahwa semua orang Kristen sepaham dengan kebijakan luar negeri Obama administration. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Obama administration banyak dipengaruhi oleh Dr. Zbigniew Brzezinski, dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pandangan kristiani (12). Dalam pidatonya sekitar tahun 2007, sebelum terpilih menjadi presiden, Obama memuji Brzezinski dengan kalimat berikut: “he is one of our most outstanding scholars, one of our most outstanding thinkers”... "has proven to be an outstanding friend and somebody who I have learned an immense amount from” (12). Lihat juga (14).
c. Sekali lagi, saya bukan ahli intelijen atau ahli politik, jadi saya sama-sekali tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Namun mengingat bahwa ISIS telah menyatakan perang di websitenya terhadap Malaysia dan Indonesia (9), maka sudah selayaknya badan penanggulangan terorisme (BNPT) melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap ancaman ISIS tersebut, juga terhadap organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya, seperti misalnya Katibah Nusantara. Lihat (8). (Catatan: Katibah Nusantara jelas berbeda dengan gerakan "Islam Nusantara" yang diprakarsai NU.)
d. Kalau melihat sepak terjangnya akhir-akhir ini, setelah berhasil mengacaukan seluruh Timur Tengah tampaknya ISIS akan berusaha menciptakan khaos di Eropa dan juga Asia Tenggara. Itulah yang tampaknya terjadi dengan berbagai serangan di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya dalam beberapa bulan terakhir. Dan bisa jadi mereka akan berusaha melakukan eskalasi serangan di Eropa dalam bulan-bulan ke depan.
e. Ada kemungkinan bahwa ISIS akan meningkatkan serangan ke Barat, seperti disinyalir oleh John Brennan, Direktur CIA (4)(5). Jika hal ini terus terjadi dan tidak dihentikan, maka mungkin itulah yang dimaksud dengan masa Tribulasi (The Great Tribulation).
Penutup
1. Tampaknya ada alasan yang cukup untuk menduga bahwa Obama administration sedang menjalankan kebijakan destruksi kreatif di Timur Tengah sebagaimana yang mereka telah lakukan di Balkan, mungkin atas nasehat Brzezinski (10). Dan kini tampaknya kebijakan destruksi kreatif itu mulai diarahkan ke Eropa Barat dan Asia Tenggara.
2. Secara teologis dan filosofis, kebijakan destruksi kreatif (atau dalam motto: "Creating order out of chaos") dapat dipertanyakan kebenarannya. Lihat (19). Istilah tersebut menjadi populer dalam dunia ilmiah melalui buku Ilya Prigogine & Isabelle Stengers (20). Mungkin saja fenomena termodinamika non-ekuilibrium membenarkan konsep "order out of chaos" namun hal ini tidak dapat begitu saja diterapkan ke wilayah sosial dan politik. Apalagi menjadi kebijakan luar negeri suatu negara untuk merusak wilayah lain.
3. Sekali lagi, memang artikel ini hipotetikal dan mungkin kurang mempertimbangkan dimensi geopolitik secara komprehensif, namun pesan utama di sini adalah supaya BNPT lebih antisipatif terhadap kiprah ISIS di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya.
Versi 1.0: 11 Agustus 2016, pk. 21:45, versi 1.1: 14 agustus 2016, pk. 16:08
VC
note: terimakasih kepada Daniel atas saran-sarannya.
Referensi:
(1) Pamela Geller & Robert Spencer. The post-American presidency: The Obama Administration's war on America. New York: Threshold Editions, 2010
(2) http://nesaranews.blogspot.co.id/2016/07/isis-we-are-being-funded-by-obama.htm
(3) http://www.zerohedge.com/news/2015-05-23/secret-pentagon-report-reveals-us-created-isis-tool-overthrow-syrias-president-assad
(4) http://econlog.econlib.org/archives/2016/06/brennan_admits.html
(5) https://theconservativetreehouse.com/2016/06/16/cia-director-brennan-says-trump-is-right-isis-attempting-u-s-infiltration-via-refugees/
(6) http://www.rushlimbaugh.com/daily/2016/06/16/cia_director_contradicts_obama
(7) http://thefreethoughtproject.com/white-house-cia-supply-terrorists-weapons-topple-assad-u-s-military-feeds-syrian-govt-intel-isis/
(8) https://www.intelijen.co.id/katibah-nusantara-sayap-melayu-isis-dan-ancaman-bagi-asia/
(9) http://news.asiaone.com/news/malaysia/declares-war-malaysia-and-indonesia
(10) Vassilis Fouskas. Zones of conflict: US foreign policy in the Balkans and the greater Middle East. Sterling: Pluto Press, 2003.
(11) Yakub Halabi. US foreign policy in the Middle East. Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2009.
(12) Bruno Adrie. In the Foreign Policy Shadow of Dr. Brzezinski: Obama, Islamic Fundamentalism, and Russia. Part I. Global Research, Oct. 2015. Url: http://www.globalresearch.ca/in-the-foreign-policy-shadow-of-dr-brzezinski-obama-islamic-fundamentalism-and-russia/5485727
(13) Binoy Kampmark. Donald Trump and the ISIS factor. Global Research, August 13th, 2016. Url: http://www.globalresearch.ca/donald-trump-and-the-isis-factor/5540902
(14) http://www.hoefgeest.nl/temp/ObamaMSNBC.pdf
(16) Jacob Poushter. Nov. 15, 2015. Url: http://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/11/17/in-nations-with-significant-muslim-populations-much-disdain-for-isis/
(17) Prof. Tim Anderson. The Dirty War on Syria: Washington supports the Islamic State (ISIS) - the evidence. Global Reseearch, December 29th 2015, url: http://www.globalresearch.ca/the-dirty-war-on-syria-washington-supports-the-islamic-state-isis/5494957
(18) Ekaputra Tupamahu. Quo Vadis Amerika? Url: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/quo-vadis-amerika
(19) http://www.zerohedge.com/news/2014-08-15/order-out-chaos-doctrine-runs-world
(20) Ilya Prigogine & Isabelle Stengers. Order out of chaos. New York: Bantam books, 1984.
-------
Komentar dari Dr. David Widihandojo, Pascasarjana UKDW
Menghadapi Kebenaran Membutuhkan Keberanian dan Kejujuran Namun Menyuarakan Kebenaran Membutuhkan Keberanian dan Kejujuran Yang Jauh Lebih Besar Lagi” Confucius
Dear Victor,
Apa yang yang anda kemukakan dalam Speak the Truth to Power bukan sesuatu yang baru. Jika anda ikuti issues politik global masalah ini sudah cukup lama bahkan juga sudah ada hasil penelitian serta buku yang diterbitkan. Namun kita di Indonesia memang cenderung tertinggal jauh – saya tidak tahu mengapa bukankah information just on the finger tip? – bahkan surat kabar dan majalahpun tidak ada yang memberitakannya.
Pengakuan gamblang Hillary dalam 2 wawancara yang terpisah dan penjelasan Putin tentang lahirnya Al Qaeda dan ISIS di Valda Discussian Group, 2014 (www.youtube.com/ watch?v=OQuceU3x2; www.youtube.com/watch?v=PJLR1LhxiN0; www. youtube.com/ watch?v=0zGbhffOxhM) menunjuk keterlibatan US dalam melahirkan Taliban, Al Qaeda dan ISIS. Menurut Putin dan berdasarkan berbagai sumber, ISIS terdiri dari serdadu bayaran (mercenaries) Amerika yang bertujuan menggoyang kekuasan rejim-rejim Islam Timur Tengah karena itu Hillary marah besar sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas sebagai seorang pejabat se-level US State Secretary karena koalisi militer Suriah, Rusia dan China menghancurkan basis-basis ISIS di Suriah dan Irak yang mengakibatkan ratusan tentara bayaran dan pelatih militer US menjadi korban.
Sumber lain yang lebih meyakinkan karena berdasarkan penelitian/studi yang mendalam adalah buku Anand Gopal, No Good Among the Living - video Anand Gopal di Henry Wallace National Security Forum dengan judul How US Created Taliban and Al Qaeda dapat anda saksikan di www.youtube.com/watch? v=xYEBX6UlBLU. Dalam bukunya Gopal mengemukakan berbagai data temuannya yang menunjukkan adanya aliran dana, senjata dan keterlibatan pelatih militer US di Taliban dan Al Qaeda. Studi yang lebih serius dilaku - kan oleh Garikai Chengu, peneliti universitas Harvard, dalam America Created Al Qaeda and ISIS Terror Group, yang pada akhir tulisannya menyimpulkan bahwa:
“The so-called “War on Terror” should be seen for what it really is: a pretext for maintaining a dangerously oversized U.S. military. The two most powerful groups in the U.S. foreign policy establishment are the Israel lobby, which directs U.S. Middle East policy, and the Military-Industrial-Complex, which profits from the former group’s actions. Since George W. Bush declared the “War on Terror” in October 2001, it has cost the American taxpayer approximately 6.6 trillion dollars and thousands of fallen sons and daughters; but, the wars have also raked in billions of dollars for Washington’s military elite.
In fact, more than seventy American companies and individuals have won up to $27 billion in contracts for work in postwar Iraq and Afghanistan over the last three years, according to a recent study by the Center for Public Integrity. According to the study, nearly 75 per cent of these private companies had employees or board members, who either served in, or had close ties to, the executive branch of the Republican and Democratic administrations, members of Congress, or the highest levels of the military.
In 1997, a U.S. Department of Defense report stated, “the data show a strong correlation between U.S. involvement abroad and an increase in terrorist attacks against the U.S.” Truth is, the only way America can win the “War On Terror” is if it stops giving terrorists the motivation and the resources to attack America. Terrorism is only the symptom, while American imperialism is the cancer...............” (www.globalresearch.ca/america-created-al-qaeda-and-the-isis-terror-group/ 5402881).
Chengu menunjuk permainan politik (political game) elit politik US yang melahirkan War on Terror dimana terorisme sengaja diciptakan oleh Military—Industrial-Complex US demi kepentingan komersial, dan George Bush berperan sebagai “executive” industri militer US yang mendatangkan duit. Ini menunjukkan betapa tidak sehatnya politik US yang sepenuhnya merupakan arena bermain pemilik modal. Mereka demi kepentingan komersial -nya tidak peduli ribuan nyawa putra-putra US serta kebangkrutan negaranya. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Joseph Stiglitz, Nobel Laureates dan guru besar universitas Columbia, dalam The Price of Inequality yang menunjuk bahwa demokrasi US hanya meng -untungkan segelintir elit dan menciptakan kepincangan sosial yang parah yang berakibat dengan kebangrutan negara. Juga oleh Daniel A Bell, guru besar universitas Princeton, dalam China Democracy & Meritocracy, yang melihat bahwa demokrasi liberal US hanya bekerja demi kepentingan elit bisnis sehingga tidak mampu melahirkan pemimpin negara yang sepenuhnya bekerja bagi kepentingan rakyat dan negaranya. Bagi Bell sistem politik China adalah sebuah demokrasi yang jauh lebih baik karena seleksi pemimpin dilakukan sepenuhnya berdasarkan prinsip meritokrasi bukannya kampanye politik. Kesimpulan Bell ini menggarisbawahi kesimpulan Loretta Napoleoni, guru besar universitas Cambridge, dalam Maonomics: Why China Create Better Capitalism than Us: ”Here we arrive at the heart of the problem if we estimate of the Chinese population’s lack of political freedom, once again it is the fruit of conceptual misunderstanding.”
Jadi selain terorisme juga perlu dikritisi apa yang dikemukan Prof Joseph Nye aebagai upaya US untuk me-liberalisasi politik dan ekonomi semua negara di dunia ini. Prof. Joseph Nye dalam the American Century is Over mengemukakan adalah kebijakan US untuk memper -lemah negara-negara lain demi mempertahankan dominasi globalnya. Nye mengungkapkan keberhasilan US melemahkan Russia melalui Glasnost dan Perestroika dan Jepang dengan memaksakan kebijakan moneter yang melumpuhkan kemampuan ekonominya. Akibatnya Russia berhenti pertumbuhan ekonominya dan Jepang terjebak kedalam stagnasi ekonomi yang akut. Namun US gagal memperlemah China karena sistem politik China begitu kokoh dan tidak mudah disusupi. Para petinggi politik China tegas menolak tekanan US untuk menerapkan demokrasi liberal model Barat serta liberalisasi moneter model IMF/World Bank serta konsisten berjalan dengan sistem dan model pembangunan yang diciptakan sendiri.
Liberalisasi politik atau dikenal sebagai demokratisasi di negara sedang berkembang selalu berakhir dengan macetnya pembangunan, makin lebarnya jurang kaya dan miskin, stagnasi ekonomi, terbelahnya masyarakat, negara terjebak kedalam pertarungan politik yang akut. Sedangkan liberalisasi ekonomi menjebak negara kedalam lumpur hutang dan dibawah tekanan kapitalisme global. Dalam situasi semacam ini maka yang sukses adalah dominasi kapitalisme global dan langgengnya hegemoni imperialisme US. Inilah nasib negara-negara di Timur Tengah dan seluruh negara-negara sedang berkembang yang pro Barat di Asia. Seandainya – jika saja kita boleh berandai-andai – ditahun 1997 China melangkah ke demokrasi politik karena memenuhi tuntutan para mahasiswa naif di Tiananmen dapat dipasikan saat ini China adalah eksportir tenaga kerja murah yang terbesar di dunia bersaing dengan India, Bangladesh, Filipina dan Indonesia. Para demokrat fundamentalis tidak mampu melihat secara jernih bahwa kebebasan dari kemiskinan adalah hak yang sangat mendasar bagi eksistensi seorang manusia, seorang warga negara, dan kehadiran strong state sangat essensial bagi sebuah bangsa untuk melewati transisi keluar dari jebakan kemiskinan dan middle income trap, dua bottle neck yang sangat serius, berbahaya dan mengancam negara yang sedang bertumbuh. Jika negara gagal melewati transisi ini maka akan terjebak kedalam stagnasi ekonomi dan lumpur kemiskinan yang akut.
US adalah adikuasa di abad 19 dan 20 dengan mindset sama yang dimiliki Gaius Julius Caesar 2000 tahun yang lalu yaitu untuk mempertahankan hegemoninya bertumpu sepenuhnya pada kekuatan militer, tekanan politik dan membentuk sekutu (allies). Namun dalam konteks kapitalisme global akhir abad 20 dan diabad 21, strategi ini sudah tidak tepat lagi sehingga dengan cepat dominasi US melemah secara signifikan, kemampuan militernya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena menggerogoti kemampuan finansialnya sehingga kebijakan politik destruktifnya tidak berjalan sukses. Ini nampak jelas dari kasus AIIB dan One Road & One Belt. Dimana para sekutu US membangkang dan berbalik mendukung China, dimulai dengan Inggris kemudian diikuti Jerman, Perancis, Australia, Canada dan Israel berbondong-bondong mendukung China mendirikan AIIB, padahal AIIB didirikan dengan tujuan untuk mengimbangi IMF/World Bank, dimana US memegang peran dominan. Kemudian, mereka juga berbondong-bondong mendukung pembentukan Silk Road Fund untuk membiayai proyek raksasa China One Road & One Belt yang mempersatukan Eropa, Asia dan Afrika melalui jaringan infrastruktur yang kompleks. Dengan demikian terbentuk sebuah pasar bersama raksasa yang menyatukan 3 benua. Ini berarti posisi ekonomi US tidak dominan lagi, pasar utama dunia beralih ke Erasia. Selain itu strategi containment US kepada China di Pasifik melalui kebijakan Obama dan Hilary yaitu Pivot Asia dan Trans Pacific Partnership tumpul karena posisi negara-negara Pacific menjadi minor.
Bagi Indonesia saat ini penting untuk mandiri demi memanfaatkan perubahan percaturan politik global yang multi polar namun hal ini membutuhkan kehadiran sebuah strong state yang dapat mengarahkan seluruh enerji untuk bangkit, untuk melindungi kekayaan negara dari berbagai kebocoran, untuk memanfaatkan kehadiran pasar raksasa Erasia, mematah -kan communism phobia dan mengajak seluruh anak bangsa ini ke wawasan berpikir dan bertindak yang pragmatist-realist. Khusus, bagi mereka kaum Kristiani, sungguh saya amat merindukan mereka memiliki kedewasaan iman, kematangan pribadi dan kebijaksanaan intelektual Dr. J. Verkuyl, theolog, yang secara jernih dapat melihat dan menulis:”…..dikubu Komunisme terletak dosa-dosa gereja…….”
Salam,
David Widihandojo
22/08/2016
Komentar
Posting Komentar