GARUDA SVETA-RAKTA-KHAGAH: SANG GARUDA MERAH PUTIH PEMBEBAS DARI PENJAJAHAN

GARUDA SVETA-RAKTA-KHAGAH: SANG GARUDA MERAH PUTIH PEMBEBAS DARI PENJAJAHAN

(Tulisan Pertama dari Tiga Tulisan)

Oleh: Dr. Bambang Noorsena

Alkisah, seekor kuda bernama Uccaihsrawa secara ajaib muncul ketika pengadukan gunung Mandara (Mandaragiri) untuk memperoleh tirta amerta. Pada suatu hari Winata dan Kadru, dua istri Bagawan Kasyapa, memperdebatkan warna kuda itu. "Putih", kata Winata. "Tidak semua", bantah Kadru, "ada warna hitam pada kakinya". Karena saling silang pendapat itu, mereka bertaruh dan siapa yang kalah akan menjadi budak. Keduanya akan menyaksikan langsung sosok Uccaihsrawa dari dekat, esok paginya.

Sebelum taruhan itu terjadi, Kadru menceritakan rencana itu kepada anak-anaknya, yaitu para naga. "Warna Uccaihsrawa itu putih belaka, Bunda!", kata para naga. Kadru yang cemas akan kalah, menyuruh anak-anaknya untuk memercikkan bisa ular ke ekor kuda itu supaya ada bercak warna hitamnya. Para naga mula-mula tidak mau, karena perbuatan itu tidak pantas. Kadru marah dan mengancam mengutuk mereka akan ditelan api pada saat upacara korban ular yang diselenggarakan Raja Jayamejaya, cicit Arjuna. Mereka akhirnya melaksanakan perintah ibunya.

Karena curang Kadru menang, Winata harus rela menjadi budaknya. Sementara itu, sang garuda yang baru lahir mencari keberadaan ibunya. Elang perkasa yang juga disapa "Sveta-Rakta" (Sang Merah Putih) itu, akhirnya mendapati ibunya yang diperbudak Kadru untuk mengasuh naga-naga. Sang Garuda yang tidak tega melihat penderitaan ibunya, bertanya kepada para naga apa yang bisa dilakukannya untuk pembebasan sang ibu. "Kamu harus membawa tirta amerta kepada kami, hai Putra Winata!". Garuda pun menyanggupi permohonan mereka.

Demi membebaskan sang ibu, Garuda harus menghadapi perjuangan yang berat melawan dewa-dewa. Sang Garuda menang, dan sampailah ke tempat tirta amerta berada untuk mengambilnya. "Mintalah kepadaku, hai Sang Garuda", kata Sang Hyang Wisnu yang datang tiba-tiba, "kalau kamu menginginkan air suci itu, Aku akan memberikannya". "Berikanlah kepada hamba anugerah lain", pinta Garuda. "Kalau itu permohonanmu", kata Sang Hyang Wisnu, "jadilah kamu kendaraanku dan sekaligus menjadi lambang panji-panjiku". Sang Garuda setuju.

Maka terbanglah putra Winata itu membawa amerta dan akan memberikannya kepada para naga, dengan syarat mereka harus menyucikan diri dahulu sebelum meminumnya.
Melayanglah Svarnakaya (Sang Raja Emas) itu, sembari berkata: "IDAM ANITAM AMRTAM PRWRTI MANHATAH" (Inilah jerih juangku mengambil amerta, jadilah sarana pembebasan ibuku). Menyaksikan kedatangan Garuda, naga-naga sangat senang dan ingin segera minum tirta amerta. Sementara mereka sedang bersuci, Sang Hyang Indra telah membawa kembali air suci itu ke surga. Naga-naga sangat kecewa, tetapi itulah karma yang harus diterimanya karena mereka pernah berbuat salah memecikkan bisa ular ke Uccaihsrawa, atas desakan Kadru.

Tirta amerta telah tiada, hanya tetes-tetes sisanya memercik di daun-daun ilalang. Akhirnya, naga-naga itu hanya dapat menjilati ilalang itu, sampai lidahnya tersayat dan terbelah menjadi dua (dwijihva). Sebaliknya, daun-daun ilalang itu menjadi suci karena percikan tirta amerta. TUGAS GARUDA MEMERDEKAKAN IBUNYA DARI PENJAJAHAN TELAH PARIPURNA. Sang garuda kembali ke surga, tampak begitu keramatnya setelah melalui perjuangannya berhasil memerdekakan ibunya.

Kisah kepahlawanan Sang Garuda di atas, dikutip dari kitab Adiparwa bahasa Jawa Kuno, yang telah disalin dari Mahabaratha Sanskerta pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh di Medang (991-1016 M), ternyata sangat menentukan corak kesenian Indonesia (Stutterheim, 1926:333).
Pilihan para bapa bangsa mengangkat garuda sebagai lambang negara mempunyai akar sejarah bangsa Indonesia yang sangat kuat dan panjang. Sejak Raja Balitung (898-910 M), Garuda telah dijadikan simbol kerajaan. Sang Burung Merah-Putih sebagai kendaraan Wisnu ini juga diabadikan dalam relief sejumlah candi (Prambanan, Banon, Belahan, Kidal, dan Kedaton) dari berbagai masa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara.

Selanjutnya, raja-raja Kediri, sejak Airlangga (1016-1042) dalam memberitakan tanah sima (bebas pajak) di desa Talan disertai dengan cap garuda (Garuda mukha), yang kemudian diteguhkan oleh Prabhu Jayabaya. Sejak Airlangga sampai raja Kadiri yang terakhir, Kerthajaya (1222), yang membangun Candi Penataran, Garuda Muka selalu dijadikan lencana negara (Muhammad Yamin 1951:146-147).

Kisah sang Garuda yang diuraikan di awal tulisan ini, selain tertulis dalam Adiparwa, juga dipahatkan dalam relief candi Kidal, yang dibangun sebagai penghormatan kepada Anusapati, raja kedua dari kerajaan Singhasari (1227-1248 M), yang mengandung magis-simbolis, yakni lambang kelepasan dan pembebasan jiwa (Made Titib, 2000:387).

Perjalanan sejarah panjang bangsa membuktikan bahwa simbol Garuda bukan hal yang asing bagi kebudayaan Indonesia. "Es wird getragen von dem Garuda, dem Indonesischen Adler der Mythologie und des Symbolisme" (Perlambang itu didukung oleh Garuda, yaitu burung Garuda dari mitologi dan simbolisme), kata Bung Karno di depan Universitas Hiedelberg, Germany, tanggal 22 Juni 1956. "Uns bedeutet der Garuda schöpferische kraft. Er trägt siebzehn flugfedern an jedem flugel und hat acht schwanzfedern" (Garuda berarti kekuatan kreatif bagi kami. Dia membawa tujuh belas bulu terbang di setiap sayap dan memiliki delapan bulu ekor), demikian Karno menjelaskan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sebagai kendaraan dan panji-panji Wisnu, sifat sebagai pemelihara dunia juga melekat pada sosok sang Garuda. Karena itu, sejak zaman kuno sosok Garuda juga menjadi simbol nasionalisme Indonesia, khususnya manifestasi Pancasila. Lebih dari semua itu, makna kontekstual Garuda itu dalam perjuangan bangsa kita, tidak lain menggambarkan perjuangan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan negara yang kuat. KISAH SANG GARUDA MEMBEBASKAN IBUNYA DARI PERBUDAKAN, MENGGAMBARKAN PERJUANGAN TANPA LELAH SEMUA ANAK-ANAK BANGSA MEMERDEKAKAN IBU PERTIWI DARI SEGALA BENTUK KAPITALISME, KOLONIALISME DAN IMPERIALISME.

© ISCS All Rights Reserved

Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Komentar