YERUSALEM TIMUR DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINA

*DILEMA KOTA LAMA: YERUSALEM TIMUR DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINA*

Tulisan Terakhir dari Dua Tulisan (*

Oleh: *Dr. Bambang Noorsena*

*) _Disajikan dalam Seminar Nasional "Hospitality on A Pilgrim's Way to Peace and Justice" dalam rangka 70 Tahun World Council of Churches (WCC) di Jakarta, 21 September 2018_


*3. SOLUSI KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DAN KENDALA-KENDALANYA*

*3.1. Solusi Dua Negara di Tanah Suci*

Masalah Israel-Palestina tidak bisa dilihat dari klaim-klaim kepemilikan secara agamis, karena itu, meskipun sulit, harus dicari solusinya dari hukum internasional dan pendekatan kemanusiaan. *Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan sejak masa Perang Dunia I, ketika kekhalifahan Turki Ustmani kalah perang dan harus memberikan seluruh kekuasaan wilayahnya kepada para pemenang, yakni Inggris dan negara-negara sekutunya.*

Pada tahun 1917 *Deklarasi Balfour* mengumumkan dukungan untuk *"tanah air bagi orang Yahudi"* di Tanah Suci. Penolakan keras masyarakat Arab di Palestina meledak dimana-mana. Pada tahun 1937 *Komisi Lord Peel* kemudian mengusulkan pembentukan dua negara, yaitu Israel dan Palestina. Usulan itu diterima oleh mayoritas pemimpin Yahudi, tetapi ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Arab di Palestina (*Martin Gilbert, 2011:20*).

Pada tahun 1947, melalui *Resolusi 181 (II)* yang lebih dikenal dengan *"Palestinian Partition Plan"*, PBB kembali mengusulkan solusi dua negara, dengan Yerusalem sebagai *_"corpus separatum"_*, tidak berada di bawah kedua negara. Takhta Suci Vatikan mendukung resolusi yang mempertahankan status khusus kota suci Yerusalem ini. Rencana pemisahan itu diterima oleh para pemimpin Yahudi, tetapi sekali lagi ditolak oleh para pemimpin Arab dan Palestina. Mereka menentang setiap bentuk pembagian Tanah Suci, sekaligus menolak eksistensi negara Israel dalam wilayah itu. Sebaliknya, di tengah *"kekosongan kekuasaan"* pada masa transisi ini, berdasarkan *Resolusi 181* tersebut Israel *"mencuri start"* atau mendahului memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei 1948.

Sehari kemudian Israel langsung dikeroyok oleh Lebanon, Suriah, Irak, Yordania, Mesir, dan Saudi Arabia. Israel menang, dan mendapatkan kelebihan wilayah 50% lebih banyak dari yang diputuskan dalam Rencana Pemisahan PBB. Selanjutnya masih terjadi lagi *perang enam hari* (Ibrani: *מלחמת ששת הימים,* _"Milẖemet Sheshet HaYamim")_ pada tahun 1967 dan *"perang Yom Kippur"* (Ibrani: *מלחמת יום כיפור* _"Milẖemet Yom Kippur")_ pada tahun 1973, dan disusul dengan serangkaian konflik panjang yang masih berlangsung, meskipun jalan diplomasi terus dilakukan oleh kedua pihak hingga sekarang.

Dari semua opsi yang diusulkan, maka opsi dua negara yang berdampingan di Tanah Suci, tetap yang terbaik. Selanjutnya, seperti yang tertuang dalam *Resolusi PBB Nomor 194*, Israel dan Palestina harus menjadi dua negara dan hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui. Sulitnya mencapai proses perdamaian, salah satu sebabnya karena masih ada yang memandang bahwa tidak ada hak Israel hidup di Tanah Suci.


*3.2. Kendala-Kendala Palestina Merdeka*

Fakta sejarah mencatat, sejak munculnya solusi dua negara, negara-negara Arab justru laksana *"menyiram minyak di tunggu api"* konflik Israel-Palestina, demi kepentingan mereka sendiri. Rakyat Palestina yang terjepit di tengah-tengah konflik kepentingan ini, selalu menjadi korban. Karena kepentingan negara-negara Arab tersebut, maka setiap solusi damai dua negara selalu disambut dengan perang, yang akhirnya harus dibayar dengan kerugian rakyat Palestina sendiri. Tak kunjung merdeka, sebaliknya kehilangan tanah-tanah dan rumah-rumah, terusir dari kampung halaman mereka, akibat kalah perang.

Cerdasnya, Israel lebih akomodatif menerima dan cepat memanfaatkan berbagai solusi internasional yang pernah ditawarkan. Tidak selalu selesai di meja perundingan, sebaliknya perang tidak terhindarkan. Faktanya, setelah negara-negara Arab kalah dan tunggang langgang lari meninggalkan Palestina, dan setelah Palestina kehilangan banyak wilayahnya, barulah PLO di bawah Yasser Arafat setuju dengan solusi dua negara. PLO akhirnya menerima *resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 dan 338*, dan mengakui eksistensi negara Israel, namun terus melakukan *gerakan _Intifadah_* sejak tahun 1987.

Ironisnya, impian besar menguasai dan menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibukota negara Palestina, justru semakin menjauhkan dari realitas kemerdekaan yang mereka cita-citakan. Perlawanan rakyat Palestina terus berlangsung, dan berbareng dengan munculnya gerakan _Intifadah_, berdirilah *"faksi garis keras"* Palestina, yaitu *Hamas* (Arab: *حركة المقاومة الاسلامية* _"Ḥarakat al-Muqāwamah al-Islāmiyyah" *atau _Gerakan Pertahanan Islam*).

Faksi Islam Hamas ini berbeda haluan dengan faksi nasionalis yang lebih kooperatif, yaitu *Fatah* (Arab: حركة التحرير الوطني الفلسطيني _"Ḥarakat al-Taḥrīr al-Wathanī al-Filasthīnī"_ atau *Gerakan Kemerdekaan Nasional Palestina)*. Konflik antara kedua faksi ini memuncak ketika *Hamas* memenangkan Pemilu tahun 2006.

Setelah konflik panjang *Hamas vs Fatah*, wilayah Otoritas Palestina justru terpecah menjadi dua, jalur Gaza diambil alih oleh Hamas dan Fatah tetap mempertahankan Tepi Barat. Kedua faksi masing-masing mengklaim diri sebagai perwakilan rakyat Palestina. Konflik antara kedua faksi ini, justru membuat Israel semakin solid. Dan seperti kegagalan sebelumnya, baru pada tahun 2017 Hamas setuju dengan *Perjanjian Oslo* dan mengakui dua negara di Tanah Suci, tetapi tetap mengacu pada wilayah Palestina pada tahun 1967, suatu yang mustahil disetujui oleh Israel yang sudah diperolehnya melalui kemenangan dalam perang.

Sikap politik terbaru yang disuarakan dari Doha oleh *Khalid Meshal*, pemimpin Hamas di pengasingan, namun tidak digubris oleh Israel, yang menolak dokumen terbaru Hamas itu bahkan sebelum diumumkan resmi, tanggal 2 Mei 2017. Israel menilai Hamas sedang mempermainkan dunia supaya percaya bahwa organisasi itu saat ini lebih moderat. *"Hamas berusaha membodohi dunia, namun mereka akan gagal"* kata *Davis Keyes*, juru bicara kantor Benjamin Netanyahu, PM Israel.

Namun beberapa analis menilai dokumen terbaru Hamas ini sebagai perubahan sikap politik Hamas yang berusaha lebih pragmatis, untuk menghindar dari isolasi oleh masyarakat internasional. Padahal piagam pendirian Hamas menyatakan diri sebagai jaringan *_Ikhwan al-Muslimin_ (Pasal 2 Piagam Hamas)*, yang tidak ada ruang sedikitpun untuk kompromi dengan Israel.


*3.3. Palestina Harus Belajar dari Indonesia*

Terlepas dari klaim-klaim kepemilikan Tanah Suci yang tak kunjung selesai, faktanya rakyat Palestina yang paling banyak menjadi korban, baik Muslim maupun Kristen. Karena itu, fakta-fakta di bawah ini harus menjadi rujukan dalam memecahkan konflik yang dilematis ini, demi terwujudnya dua negara dalam koeksistensi damai di Tanah Suci, antara lain:

a) *Jaminan keamanan bagi Israel untuk tinggal di Tanah Suci sebagai negara yang berdaulat, sesuai dengan Resolusi 181 (II) PBB Tahun 1947*. Kecemasan Israel akan penolakan, penentangan dan legitimasi keberadaannya cukup beralasan, karena itu gerakan kekerasan rakyat Palestina yang sering menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran, harus secepatnya dihentikan.

b) *Penegakan HAM bagi para pengungsi Palestina*. Sebagai akibat dari berdirinya negara Israel dan setelah kemenangan mereka dalam perang dengan negara-negara Arab, maka banyak rakyat Palestina yang kehilangan tempat tinggal, bahkan mengalami penolakan hak-hak kebangsaan oleh Israel. Karena itu, pemukiman Israel harus ditarik, dan kecemasan Palestina akan pengasingan permanen harus diperhatikan.

c) *Kritik terhadap Israel modern tidak bisa didasarkan atas sikap antisemitik*. Berbeda dengan Kristen Zionis yang selalu mendukung apapun langkah Israel, sebaliknya kaum *Kristen antisemitik* menyamakan semua kritik Yudaisme terhadap Kekristenan dengan kebijakan domestik negara Israel *(Gary M. Burge, 2010)*.

Soal terakhir, soal wilayah Palestina seharusnya mereka belajar dari perjuangan Republik Indonesia pasca-kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada sidang-sidang BPUPKI, para *_"founding fathers"_* kita sudah memperdebatkan wilayah Indonesia, yang menuntut seluruh bekas jajahan Hindia-Belanda, bahkan ada yang mengusulkan bekas wilayah Majapahit yang eksis 500 tahun sebelumnya. Namun ketika Jepang menentukan Indonesia sebagai *_"status quo"_*, dan Belanda kembali ke wilayah Indonesia, kita harus sabar berunding kembali dengan Belanda.

Dalam rangkaian perundingan demi perundingan itu telah disepakati wilayah Indonesia, mulai dari *Linggarjati (1946)*, yang mengakui wilayah Republik Indonesia hanya *"seluruh Jawa, Madura dan Sumatera"*. Meskipun Belanda belum mengakui penuh wilayah kita, tetapi kita bisa menerimanya, karena *"pengakuan de facto"* Belanda itu sangat penting sebagai langkah awal mendapatkan legitimasi hukum internasional.

Selanjutnya, ketika Belanda melanggar *perjanjian Linggarjati*, kita juga masih sabar mengikuti *perjanjian Renville (1948)*, yang lebih sempit lagi mengurangi wilayah kita hanya meliputi *"Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera"*. Kita juga menerima mediasi *tiga negara (AS, Australia dan Belgia)* dan taat kepada resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan gencatan senjata, sekalipun *"garis Van Mook"* sangat menyebalkan kita. Kita terus aktif di jalan perundingan, sambil memantapkan lobi-lobi ke dunia internasional.

Melalui perjuangan yang cerdas dan gigih, akhirnya pada *Konferensi Meja Bundar* di *Den Hagg, tanggal 2 Nopember 1949*, Belanda menyerahkan wilayah Indonesia tanpa syarat, kecuali Papua Barat! _"yang akan diselesaikan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu setahun setelah perundingan ini ditandatangani"_. Dan akhirnya kita mendapatkan wilayah kita yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Ini sangat berbeda dengan Palestina, yang mula-mula menolak solusi dua negara di Tanah Suci, tetapi begitu kalah perang, setelah membiarkan dirinya terombang-ambing oleh kepentingan negara-negara Arab, lalu menuntut kembali wilayah yang sebelumnya ditolaknya di meja-meja perundingan, seperti Hamas yang menuntut wilayah Palestina tahun 1967, padahal sebelumnya dalam garis perjuangannya bertekad menghapuskan Israel dari peta dunia.


*4. CATATAN AKHIR: SUATU REFLEKSI TEOLOGIS*

Meskipun mempunyai hak ilahi menempati *Tanah Perjanjian (Kej. 12:3; Yos. 1:4; 21:43-45; Yeh. 47:13-20)*, namun Abraham sama sekali tidak bermaksud merampasnya dari rakyat Kanaan yang lebih dahulu menempatinya. Ketika untuk pertama kali memasuki Tanah Suci, Bapa kaum beriman itu disambut ramah oleh Melkisedek, raja Salem dan imam Kanaan. *Kej. 14:19-20* mencatat bahwa Abraham membuktikan ketaatannya dengan memberikan persepuluhan, sebaliknya Melkisedek raja Salem memberkati Abraham dengan nama *אֵל עֶלְיוֹן קֹנֵה שָׁמַיִם וָאָרֶץ _"El Elyon qoneh syemayim we arets"_* (Allah Yang Maha tinggi, Sang Pemilik langit dan bumi).

Menariknya, kata קֹנֵה "qoneh" (harfiah: *"pemilik"* ) seperti terjemahan NKJ, dipakai di sini untuk menekankan bahwa sebagai penduduk asli, Melkisedek tidak merasa memiliki Tanah Perjanjian itu secara ekslusif bagi dirinya sendiri, melainkan semata-mata dari dan bagi *אֵל עֶלְיוֹן "El Elyon" (Allah Yang Maha tinggi)*, Sang Pemilik langit dan bumi. Selanjutnya, ketika Sarah meninggal di Kirhat-Aba, Hebron, di tanah Kanaan, Abraham membeli tanah untuk kuburan istrinya, bukan merampasnya *(Kej. 23:1-20)*.

Meskipun Efron rela memberikan tanah itu secara cuma-cuma, namun Abraham menolaknya, karena keturunannya nanti harus menjadi pemilik yang sah, tanpa berhutang budi kepada siapa pun. Tanah itu juga tidak menjadi hadiah yang bisa diminta lagi, ditarik kembali atau diklaim sebagai milik bangsa lain, kelak apabila keturunannya nanti kembali ke Tanah Suci ini. Refleksi teologis ini kiranya mendasari sikap kita yang adil terhadap konflik Israel-Palestina.

Apapun solusinya secara politik, dilema Kota Tua ini telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan yang berpanjangan. *_"Kita melihat Yesus di anak-anak di Timur Tengah, yang terus menderita karena ketegangan antara Israel dan Palestina,"_* kata *Paus Francis* dalam pesan Natalnya tanggal 25 Desember 2017, *_"Mari kita berdoa bahwa keinginan untuk memulai dialog akan bertahan antara pihak-pihak yang terlibat. Dan sebuah solusi hasil negosiasi dapat dicapai akhirnya. Solusi yang dapat menciptakan perdamaian koeksistensi dua negara yang saling mengakui dan diakui dunia internasional dengan batas-batas wilayahnya"_*.


*REFERENSI*

1. Adrian Woff, *_Israel A Chronology_* (Jerusalem: A. Woff , 2010).
2. Martin Gilbert, *_The Story of Israel_* (London: Charlton Publishing Groul, 2011).
3. Harry M. Bruce, *_Palestina Milik Siapa?_* Alih Bahasa: Nino Octorino, et. all. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2010).
4. David Havard, *_Elias Chacour: The Blood Brother_* (Grand Rapids, Michigan: Chosen Books, 1994).¶

Merdeka !!

*2018 ISCS © All Rights Reserved*




Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Komentar