YESUS, LOGOS DAN TAO: BELAJAR DAN BERBAGI DARI SEORANG GURU TAOISME

*YESUS, LOGOS DAN TAO: BELAJAR DAN BERBAGI
DARI SEORANG GURU TAOISME 
(In Memoriam Ibu Megawati Linda Halim - Liem Liu Yin)*

Oleh *Dr. Bambang Noorsena*



*1. CATATAN PENDAHULUAN*

Sejak kecil saya sudah terbiasa membaca dari mana saja dan tentang apa saja. Saya baca _*Wirid Hidayat Jati*_, karya *Raden Ngabehi  Ranggawarsita*. Sedari dini saya sadar, ada paralel antara _*"Inna lillahi wa inna ilahi raji'un"*_ dan *"Sangkan Paraning Dumadi".* Lebih mendalam, Serat Syekh Siti Jenar dan konsep *"Manunggaling Kawula-Gusti",* akrab di telinga saya. Pada waktu saya masuk SMA saya membaca buku *_Tao Te Ching_*, karya *Lao Tse* (605-532 SM).

Saya dengan mudah mengakses buku-buku langka itu, berkat warisan kakek saya yang kolektor buku-buku  klasik terbitan *Boekhandel Tan Khoen Swie,* Kediri. Jadi, selain belajar ngaji al-Qur'an, saya biasa menembang macapat dan pernah belajar mendhalang wayang purwa. Dari latarbelakang keluarga yang lain, saya juga mendengar ajaran Katolik. Saya bukan orang yang  awam dengan semua itu, meskipun saya juga tak merasa ahli.

Membahas selayang pandang Tao Te Ching dan paralelnya dengan falsafah Jawa adalah sudah cukup lama, sekitar akhir 1990-an dengan dua guru saya, *Romo Haryanto* dan *Pdt. Dr. B.A. Abednego*, keduanya sudah *_"intiqala ila al-amjad as-samawat"_ (kembali ke kemuliaan surgawi).* Nah, ketika saya bertemu dengan Ibu Liem Liu Yin alias Ibu Megawati, mama dari sahabat saya, Cipto Junaedi, "memori" saya masa muda itu muncul kembali begitu jelas, seperti film yang diputar-ulang.

*2. BELAJAR DAN BERBAGI BERSAMA  "MASTER OF TAOISM" YANG RENDAH HATI*

Minggu lalu ketika Ibu Mega dipanggil Tuhan, spontan saya sampaikan kepada sahabat saya itu, saya mau menulis kenangan saya saat diskusi tema pelik namun santai ini, beberapa tahun silam. Saat itu, saya lebih banyak mendengar beliau bercerita, bukan hanya persetujuannya atas ceramah saya, tetapi juga  keberatan-keberatannya atas Kristen *"gaya barat"*, yang kurang disetujuinya, karena mungkin bertabrakan dengan perasaan ketimurannya.

Minimal ada *2 "pemahaman"* Kristen populer yang menjadi *"batu sandungan"* bagi beliau: *(1) Kristen dianggap agama lahiriah". (2) kesan memaksakan paradigma yang tak sejalan dengan prinsip _"yin-yang",_ dan kecenderungan orang Kristen yang meremehkan penghormatan kepada leluhur.* Saya Kira, keberatan beliau atas Kristen *"gaya koboi"* itu karena bertabrakan dengan perasaan ketimurannya.

Setelah saya banyak mendengar keberatan-keberatan beliau, saya berusaha memberikan informasi yang berimbang tentang Kekristenan yang saya pahami, dan saya bertitik tolak dari pra-eksistensi Yesus sebagai Firman-Nya yang dalam Alkitab bahasa Mandarin diterjemahkan *"Tao".* Paling
tidak, di bawah ini adalah poin-poin saya untuk secara halus menjelaskan bahwa Kristen bukannya iman yang *"kurang berkelas"* dibandingkan Tao yang mungkin dianggapnya lebih halus, santun dan mendalam.

*2.1. "In the beginning was Tao".*

Sejujurnya, kesan dari banyak penganut Taoisme, Kekristenan itu agama yang  terlalu lahiriah, tidak bisa mendalami metafisika. Inti dari Taoisme adalah _*"Tam he soe hik coen, go poet tie swi chi thjang Tee chi".*_ Artinya: *"Suwung seolah tidak berbentuk, tetapi selalu ada, tidak tahu anaknya siapa, Tuhan (Tee) segala yang ada"* (Tao Te Ching 4:20).

"Sesuatu yang misterius telah terjadi", kata Lao Tze. "Telah ada sebelumnya ketika langit dan bumi dalam kesunyian dan kehampaan, berdiri sendiri dan tidak pernah berubah, tetap hadir dalam gerakan yang terus berputar. Mungkin Dia adalah asal mulanya berjuta-juta benda, *Aku tidak tahu namanya*.  Aku sebut saja *Tao*, karena tidak ada kata-kata yang lain yang dapat kugunakan, Aku menamakannya *"Yang Mahakuasa". "Tao* adalah yang tertinggi, pangkal segala yang ada, dan jalan abadi. "Manusia mengikuti bumi, bumi mengikuti benda-benda langit, dan  benda-benda langit mengikuti Tao, *Tao mengikuti jalan-Nya sendiri".*

Karena itu, konsep Tao pra-eksisten, yang menjadi penyebab segala yang ada, sangat mirip dengan *"Logos" (Firman)* yang *"pada mulanya bersama-sama dengan Allah" (Yoh. 1:2).* Melalui Firman-Nya Allah telah menjadikan segala sesuatu, *"dan tanpa Dia Tak suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan"* (Yoh. 1:1-3). 
Karena itu, dalam bahasa Mandarin Yoh. 1:1 diterjemahkan *Tao*, meskipun kedua istilah harus dijelaskan juga perbedaannya.

Berbeda dengan Tao dalam ajaran Lao Tse yang *tidak berpribadi*, dalam Iman Kristen *Firman yang pra-eksisten itu pribadi ilahi yang berdiam kekal dalam Wujud Allah bersama-sama Roh-Nya* (Yo. 1:1; 8:42 dan 15:26; 1 Kor. 2:10-11).  
*"Kita tidak mengetahui anaknya siapa" _(Put Ti Swie Ci Cu),_* yang oleh guru Lao Tze tidak diketahuinya, dalam Injil dijelaskan adalah *"Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa"* (Yoh. 1:18). Allah adalah Bapa dari Sang Firman yang menjadi manusia, yang dalam pengharapan Lao Tse disebutnya *"Tao".* Namun Tao yang nir-bentuk, tidak kasat mata, tetapi inti dari semua proses kejadian benda hidup dan segala yang kumelip di jagad raya, justru yang dalam Injil dinyatakan terang benderang dalam Yesus.

Inilah sekelumit bacaan yang lamat-lamat saya ingat, dan ketika saya sampaikan ini kepada Ibu Mega, beliau setuju. *"Ternyata Tao ada juga dalam Injil _ya"_,* kata beliau. Saya senang karena apa yang saya sampaikan didengar dan diterimanya. Setelah diskusi itu, saya merenung mengapa *kristologi "Firman"* ini tidak banyak diuraikan kepada para orang tua Tionghoa kita, padahal bisa menjadi *"jembatan emas"* untuk menyebarangkan Injil keselamatan.

*2.2. Hidup dalam Keselarasan "Yin-Yang"*

Salah satu dari filsafat Tao adalah  *Yin* dan *Yang*, dua unsur keberadaan yang berlawanan namun saling melengkapi. *Yang* digambarkan dengan cahaya putih, bergerak naik berpadu dengan *Yin* yang digambarkan dengan warna hitam yang bergerak turun. *Yin-Yang* adalah kekuatan  yang berlawanan, mengalir bersama siklus alami.

Inti filsafat ini adalah keseimbangan harmonis meskipun berbeda dan bertentangan, namun saling membutuhkan. *Yin* mengandung unsur *yang*, sebaliknya dalam *yang* ada *yin*. Karena itu ada titik hitam pada *"Yin"* yang  putih, sebaliknya ada titik putih dari *"yang"* yang hitam.
Yin-Yang melahirkan hukum keselarasan di alam semesta.

Dunia ini disebut dunia apabila ada siang dan ada malam, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada hidup dan ada kematian, ada pertemuan dan ada perpisahan, ada yang baik dan ada yang jahat, dan seterusnya. Keduanya  tidak hanya sekedar saling menggantikan, tetapi juga bersatu sama lain melalui irama dan gerakan alam semesta. Orang Jawa mengenal ungkapan bijak *"Ngono ya ngono, nanging aja ngono".* Kearifan Timur ini muncul bukan hanya hasil olah-pikir yang mau menggapai kebenaran, tetapi juga hasil olah-rasa yang yang merindukan harmoni dan keselarasan.

Corak berpikir yang bersifat *"monodualistis"* ini, melahirkan etika dan pendekatan *"ini dan itu",* *"baik ini maupun itu"* yang merindukan harmoni dan menerima pihak yang berbeda. Berbeda dengan olah pikir Barat yang bercorak *"ini atau itu",* yang sering menghadapkan manusia pada kutub-kutub pertentangan dan konfrontasi.

Nah, sadar atau tidak dua paradigma pemikiran ini yang selama ini muncul di hadapan kita. Kekristenan yang berkembang dari Barat, tidak mewakili *"nalar Timur"* yang lebih akomodatif, lentur, luwes dan jauh dari sikap imperialisme doktriner yang menempatkan pihak yang berbeda dengan objek yang harus kita kalahkan.

Mungkin, penolakan enggan Ibu Mega selama itu atas Kekristenan, karena kita lebih membawa paradigma Barat yang cenderung *"menuduh, mengadili, dan menyalahkan"* pihak lain. Padahal Yesus sendiri berkata: *"Barangsiapa tidak melawan kita ia ada di pihak kita"* (Mrk. 9:39).

Lalu perbedaan iman, haruskah kompromi? Sinkretisme? Tenang, tenang! Perbedaan bisa dijelaskan *"sembari minum Chinese Tea",* dan menyerahkan itu seirama dengan berjalannya waktu. *Kalau ada dua yang berseberangan, jangan melompat, nanti jatuh ke jurang, jangan membangun tembok, nanti tidak akan bertemu. Tetapi bangunlah jembatan.*

Utusan misi Katolik, baru puluhan tahun belajar budaya setempat agar Injil diterima tanpa *"conflict of cultures".* Begitu juga Walisanga harus beberapa generasi mengislamkan Nusantara. Hasilnya, pasti lebih gemilang ketimbang penginjil *"generasi instant"* yang _*grusa-grusu*_ dianggap tak mengerti adab itu.

*3. Hidup Selaras dengan Tuntutan Tao*

Chuang Tzu berkata: "Orang-orang benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian". Lao Tzu juga menambahkan, *"Hidup dan mati sudah ditakdirkan",* lagi kata Lao Tze,   *"sama konstannya dengan datangnya malam dan pagi. Manusia tidak  bisa berbuat apapun tentangnya"* (Burton Watson, *_The Complete works of Chuang Tzu_*, New York: Columbia University, 1968).

Hidup selaras dengan Tao adalah *_tzu-jan_ "mengikuti alam"* dan *_wu-wei_ "tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak seirama dengan alam".* Filosofi ini melahirkan hidup yang bersahaja, apa adanya. Namun juga berjuang keras untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntutan *_Tao,_ "jalan abadi"* sesuai dengan relnya sendiri.

Saya tidak terlalu ahli tentang Taoisme, meskipun saya membaca berkali-kali *"Tao Te Ching".* Dan tentu saja, sebagai guru Tao Ibu Mega mendalami dan melakukannya selama hidupnya. Dalam implementasi praktisnya, hal itu dibuktikan dengan kesetiannya kepada sang suami, yang pernah mengalami kecelakaan jatuh di lobang 15 meter, bukan hanya setia merawatnya di kala sakit, tetapi juga menggantikan perannya mencari nafkah bagi anak-anaknya dengan berjualan mie dan es lilin. Itu semua demi suami tercinta dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dan ketika sang suami sudah sembuh dan bisa bekerja kembali, guru Taoisme ini tetap bekerja sembantu suaminya, sampai 10 tahun kemudian ketika sang suami terlebih dahulu dipanggil Tuhan. 

Waktu itu usia beliau masih muda. Meskipun banyak teman-temannya menyarankan agar beliau menikah lagi,  namun hal itu tak dilakukannya. Atas nama cinta, sisa usia kehidupannya dibaktikan kepada *"jalan Tao"* untuk menerima kodratnya, yaitu membesarkan anak-anaknya sampai berhasil. Dalam perjuangan hidupnya yang amat berat, setapak demi setapak dijalaninya, hingga mulai membuahkan keberhasilan, namun sekali lagi, jalan Tao dibuktikannya dengan tetap hidup bersahaja.

Mendengar kisah keteladanan hidupnya, saya justru membayangkannya sebagai "surat Kristus" diantara banyak orang yang menapaki jalan cinta derita-Nya. Lho bukankah beliau guru Tao? Ibu Mega akhirnya menemukan bahwa Tao yang sebelumanya tak diketahui nama-Nya itu ternyata Sang Kristus sendiri.  *"The Real of Tao"* adalah Yesus  dalam wujud pra-eksistensi-Nya: *"In the beginning was the _Tao_, and the _Tao_ was with God, and the _Tao_ was God".*

Ya, Yesus adalah Tao itu sendiri, yang *"the same was in beginning with God"* (Yoh. 1:2),  dalam pra-ada-Nya sebagai  Firman, seperti Alkitab terjemahan bahasa Mandarin. Sebaliknya, dalam wujud inkarnasi-Nya sebagai manusia, Yesus adalah keteladanan yang dibayangkan ideal oleh Guru  Lao Tze, yang hidup kira-kira enam abad sebelum kedatangan Yesus ke dunia (cf . Yoh. 1:14). 
*"… kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup"* (2 Kor.  3:3). Firman Tuhan ini sudah dijalankannya dalam kehidupan Ibu Mega, meskipun mungkin waktu menjalani beliau sendiri tidak menyadarinya.

*4. CATATAN REFLEKSI*

Saya sangat terkesan dengan beliau, sekalipun waktu itu adalah perjumpaan untuk pertama kalinya. Pada waktu dikemukakan dengan jujur keberatan-keberatan beliau tentang Iman Kristen, atau lebih tepat "pemahaman beberapa orang Kristen dan praktek kehidupan mereka", sebagai orang yang begitu mendalami falsafah Tao,  mendengar "ajaran instant" beberapa orang Kristen kharismatik, yang maaf – tetapi inipun tidak semua – yang hanya menekankan *_"pokoknya percaya",_* tidak  menjelaskan iman itu, tentu saja dahulu sangat sulit diterimanya.

Padahal seperti tertulis dalam Alkitab: *_"Mekîl haimanûta men mashma' ednâ hî w'mashmâ' ednâ men melta d'Alahâ"._ Jadi, Iman itu timbul dari pendengaran, dan pendengaran itu dari firman Allah"* (Roma 10:7, teks Peshitta Aramaik). Iman yang seperti apa yang mucul dari pendengaran yang kabur dan berita yang tidak jelas? Mungkin Kristen seperti dianggap terlalu "lahiriah", eksoteris, dan kurang adab sehingga bertabrakan dengan rasa ketimurannya.

*_"...Last but not least"_*, kini Ibu Megawati sudah pulang setelah menyelesaikan perjuangannya di dunia. Dengan menerima Kristus tidak berarti Tao adalah lawan imannya, tetapi justru dijelaskan dan diungkapkan lebih mendalam. Sahabatku, ikhlaskanlah kepergiannya dan jangan bebani perjalanannya dengan air matamu. Firman Tuhan ini menguatkan kita semua:  *"....berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia"* (1 Kor. 15:58,TB). ¶

"De Museum Cafe", Malang, 7 Juli 2020.

Komentar