Perbandingan kosmologi
Perbandingan kosmologi
Topik: Studi Komparatif atas Kosmologi Kristologis dan Kosmologi Trinitaris: Menuju kosmologi emansipatoris
Oleh Victor Christianto,* email: victorchristianto@gmail.com,
* url: http://independent.academia.edu/VChristianto
Pendahuluan
Tulisan singkat ini dipersiapkan sebagai bahan diskusi panel imajiner yang bertopik Perbandingan konsep kosmologi yang bertolak dari Kristologi dan Trinitas. Mengingat topik ini sangat luas, maka saya membuat beberapa asumsi untuk membatasi, di antaranya:
a. Saya menganggap bahwa para peserta diskusi ini memiliki latar belakang pemahaman yang memadai mengenai apakah yang dimaksud dengan Kristologi dan Trinitas, jadi saya tidak akan mengulangi definisi-definisi dasar.
b. meskipun pada umumnya yang dimaksud kalangan fisikawan dengan kosmologi adalah cabang ilmu alam yang mempelajari proses pembentukan dan perkembangan alam semesta, dalam konteks diskusi ini saya akan membahas kosmologi sebagai suatu kerangka berpikir konseptual terhadap alam semesta, artinya tidak harus dikonfirmasi secara empiris.(6)
Tulisan ini dibuat dengan kesadaran bahwa dalam 7-8 dekade terakhir ini telah mengemuka berbagai teori kosmologi yang tidak menyebut sama sekali tentang Tuhan, di mana peran manusia menjadi lenyap dalam drama ruang dan waktu kosmis, dan hal ini telah menjadi tantangan khusus bagi banyak orang Kristen baik awam maupun teolog yang masih bersandar akan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta (3, p. 184). Memang sebagian pemikir Kristen beranggapan bahwa teori-teori kosmologi modern seperti dentuman besar cukup dekat dengan ajaran biblikal tentang penciptaan, tapi tidak sedikit pula yang berpikiran bahwa dentuman besar justru menggantikan peran Tuhan dalam penciptaan dengan suatu proses kebetulan acak yang dipicu oleh fluktuasi vakum. Sebagian yang lain berpendapat bahwa titik singular di mana alam semesta mulai mengembang tidak perlu disamakan dengan titik terjadinya penciptaan (point of creation). Kiranya persoalan ini lebih mendalam daripada sekadar mempertahankan gagasan penciptaan 6-hari.
Situasi dilematis yang agak mirip juga muncul dalam pertanyaan tentang asal mula kehidupan di bumi, di mana pandangan klasik, seperti pernah dibuktikan oleh Louis Pasteur melalui eksperimen, menyatakan bahwa asal kehidupan adalah dari kehidupan (biogenesis), sementara perkembangan sains terbaru cenderung mendukung gagasan bahwa kehidupan terjadi secara spontan dari reaksi-reaksi kimia sederhana, bahkan teori mutakhir menjelaskan adanya nenek moyang bersama yang disebut Last Universal Common Ancestor (LUCA).
Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai umat Kristen dalam menyikapi pelbagai dilema tersebut? Tulisan ini merupakan ungkapan keresahan yang dirasakan penulis sehubungan dengan arah kosmologi modern dan dilema-dilema yang dihadapi umat kristen yang ingin memegang teguh imannya, karena itu penulis akan berusaha melihat kosmologi dari perspektif Trinitas dan Kristologi.
Pada dasarnya penulis sependapat dengan Norris, Jr., bahwa perlu dikembangkan suatu paradigma kosmologi baru yang lebih dapat memberikan respons terhadap kosmologi modern tersebut (3, p. 185). Dialog antara kosmologi dan Kitab Suci (Scripture) memang dimungkinkan dan diperlukan, khususnya jika kita mengutip pemikiran para Kristolog abad ke-6 seperti St. Maximus the Confessor. Menurut Paul M. Blowers, teologi Maximus memungkinkan kita untuk melakukan: "scripturalizing" of the cosmos and "cosmologizing" of the scripture. (3, p. 199)
Kosmologi sebagai ilmu emansipatoris
Ketika penulis diberi topik ini untuk dibahas, sejujurnya belum ada bayangan apa yang akan dikupas, karena topik Trinitas akhir-akhir ini sangat ramai dibicarakan misalnya dalam buku V-M. Karkkainen: Trinitas dan Pluralisme Agama (11). Jadi penulis agak khawatir bahwa presentasi ini tidak akan menambahkan sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran teologi.
Lalu penulis teringat pada sebuah buku yang meskipun agak lama tetapi masih sering diulas dalam berbagai kesempatan di beberapa STT di Indonesia, yaitu "Dari kosmologi ke dialog," yang berisi kuliah umum Dr. Karlina Supelli di Universitas Paramadina sekitar tahun 2010 beserta komentar dari para pakar (7). Salah satu hal yang menarik dari buku tersebut adalah bu Karlina sepertinya berusaha memberikan tugas baru kepada kosmologi, dari sekadar disiplin ilmu alam yang kering, menjadi suatu jembatan dialog. Dalam pemahaman penulis, bu Karlina tampaknya ingin memperluas disiplin kosmologi menjadi sebuah ilmu yang berwatak emansipatoris, jika boleh meminjam istilah Jurgen Habermas. (42)
Kata Emancipatory memiliki akar kata yang sama dengan emancipation, dan yang terakhir ini menurut kamus WordWeb berarti "freeing someone from the control of another person or from legal or political restrictions." Emansipatoris dalam konteks ini kiranya boleh dimaknai secara bebas sebagai upaya memperbaiki kondisi masyarakat, baik dengan cara membebaskan suatu masyarakat dari kontrol represif pihak lain, termasuk juga menegakkan keadilan maupun mewujudkan dialog yang bermakna dengan umat beragama lain.
Menurut Karlina Supelli, kosmologi dapat didefinisikan sebagai berikut: "Sains tentang struktur skala besar alam semesta serta evolusinya, dan postulat-postulat yang perlu dibangun sehingga kosmologi itu sendiri menjadi mungkin." (ref. 7, h. 37) Secara garis besar, penulis setuju dengan "visi" Dr. Karlina Supelli tentang dialog sebagai tujuan akhir dari studi kosmologi, terutama jika kita berangkat dari pemahaman bahwa akhir-akhir ini kian disadari bahwa dalam ilmu-ilmu alam, fakta-fakta empiris hanya dapat dijelaskan berdasarkan kerangka penafsiran tertentu. Kerangka penafsiran ini sering disebut sebagai paradigma. Lihat (3, p. 1)
Dalam konteks tersebut, maka penulis akan memaparkan dalam tulisan ini apakah mungkin dan sejauh mana kita dapat mengembangkan Kosmologi yang terinspirasi dari alkitab, baik yang Kristologis maupun Trinitarian, dalam kaitannya dengan wacana aksi komunikatif ala Jurgen Habermas. Tentunya topik yang luas ini hanya akan disinggung secara serba ringkas.
Harapan penulis adalah kiranya tulisan ini menyumbang dalam mengembangkan suatu wacana alternatif tentang bagaimana gereja dapat berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil, demokratis melalui aksi komunikatif, selain dalam rangka mengembangkan dialog di tengah pluralitas beragama di Indonesia.
Untuk membandingkan, jika Karkkainen berupaya mengembangkan teologi agama-agama bertolak dari teologi Trinitarian, maka dalam tulisan ini penulis akan berusaha memaparkan kemungkinan mengembangkan Kosmologi yang berwatak emansipatoris.
Kosmologi yang bercorak Trinitarian
Pertama-tama, mesti diakui bahwa belum ada konsep kosmologi Trinitarian yang cukup mapan, apalagi yang sudah sampai pada tahap konfirmasi empiris. Neville juga menulis bahwa pemikiran tentang Trinitas senantiasa berakar sekaligus pada wahyu dan spekulasi (1). Titik tolak dari konsep Trinitas adalah Kristologi, dan tesis Kristologi berakar pada keyakinan bahwa Yesus adalah Putra Allah karena Ia adalah Sabda yang menjadi manusia (1, p.9). Dari sini dapat ditarik suatu pemikiran dasar bahwa doktrin Trinitas pada awalnya bermula dari Kristologi, khususnya Kristologi menurut Perjanjian Baru.
Demikianlah jika kita membaca PL dari lensa PB, kita melihat bahwa sejak di Kej. 1:1-2 sudah disebut tentang peran Allah (Bapa), Roh Allah yang melayang-layang dan juga firman Allah yang berkuasa (dabar YHWH). Jika saja kita dapat mengabaikan bahwa kitab Kejadian ditulis oleh seorang Yahudi yang monoteistik, maka penyebutan ketiga aktor tersebut sudah cukup memadai bagi kita untuk mengatakan bahwa cikal-bakal kosmologi Trinitarian sudah ada sejak Kej. 1. Menurut St. Basil, Allah Bapa adalah "primordial cause of everything that has been made," Sang Putra adalah "the operative cause," dan Roh Kudus adalah "the perfecting cause." Lihat (2) p. 250.
Memang sejak bapa-bapa gereja termasuk Irenaeus dan Aquinas, orang Kristen umumnya beranggapan yang dimaksud dengan penciptaan menurut Alkitab adalah penciptaan dari kekosongan (creatio ex nihilo). Irenaeus misalnya menulis bahwa ada satu Allah Bapa yang esa, yang menciptakan segala sesuatu dari tidak ada melalui Firman-Nya. Ia berulang kali menulis tentang Bapa yang telah menciptakan dengan duatangan-Nya (29). Tentu yang dimaksud dengan dua tangan itu adalah Sang Firman dan Roh Kudus. Meskipun Irenaeus menjelaskan konsep tersebut untuk membaca Kej. 1:1-4,26,27 tapi tentu saja pandangan itu bersumber pada ajaran rasuli tentang Kristus yang bangkit. Dengan kata lain, pandangan trinitarian Irenaeus sebenarnya bermula dari Kristologi. Satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa istilah Trinitas itu sendiri belum dikenal pada abad kedua M (masa Irenaeus), karena istilah itu baru muncul sekitar abad ketiga dan keempat. Jadi kurang tepat kiranya untuk membaca karya Irenaeus dari sudut pandang perkembangan pemikiran satu atau dua abad sesudahnya (34).
Dalam perkembangan kemudian, beberapa orang membedakan antara Trinitarianisne sosial dan latin, yang intinya sbb. (35):
a. Trinitariansme sosial: "three distinct and discrete persons." Tapi ini mungkin lebih cocok disebut triteisme, walaupun ada yang mempertahankan konsep ini tetap sebagai monoteisme. Misalnya: Plantinga, Moltmann (?)
b. trinitarianisme latin: "three persons in one substance." Model ini dikembangkan lebih lanjut menjadi model psikologi oleh Agustinus dari Hippo dalam karyanya De trinitate (37).
Sekadar catatan pinggir, dalam versi modern tampaknya model psikologi ini bisa dihubungkan dengan teori "plural self" (38). Konsep diri jamak ini sudah diteliti secara serius dalam psikologi modern (39). Artinya, manusia sebagai gambar Allah juga memiliki identitas yang kompleks (plural), dan kenyataan itu saya kira merupakan petunjuk tidak langsung bahwa monoteisme kompleks (Trinitas) lebih relevan dibandingkan dengan monoteisme simpel. Namun demikian, Karl Rahner telah membahas beberapa masalah yang ada dengan model psikologi terhadap Trinitas, dan dia lebih suka menggunakan istilah "hipotesis." Lihat (38a). Lebih lanjut, untuk diskusi tentang berbagai pemikiran modern tentang Trinitas dalam hubungannya dengan pascamodernisme, lihat misalnya (18).
Kembali pada narasi biblika tentang penciptaan, sebenarnya teori tentang penciptaan dari ketiadaan bukanlah satu-satunya kemungkinan, karena ada beberapa kemungkinan penafsiran alternatif terhadap penuturan Kej. 1, misalnya (13):
- penciptaan dari khaos asali: jika "tohu wa bohu" dapat diarikan sebagai kacau dan tidak berbentuk.
- penciptaan dari semacam samudera purba (primordial fluid)
- penciptaan menerus (creatio continuans): Robert Millikan
- penciptaan siklis (cyclic universe): Roger Penrose
- alam semesta mengembang sejak waktu ananta: Fred Hoyle
- Satu lagi kemungkinan: penciptaan tanpa singularitas.
Problem dengan teori dentuman besar
Jika memang bisa dikembangkan teori kosmologi yang sesuai dengan data observasi tapi tanpa melibatkan hipotesis singularitas, maka itu berarti dentuman besar (big bang) menjadi tidak relevan lagi. Dari sudut pandang teologis, Aquinas berpendapat bahwa keberadaan Tuhan tidak secara mutlak menyarankan alam semesta yang usianya terbatas, dan posisi ini didukung misalnya oleh Arthur Peacocke dan Ian Barbour, lihat (6). Dengan kata lain, teori dentuman besar bukan merupakan syarat perlu akan bukti kehadiran Tuhan.
Penulis sendiri berpendapat bahwa gagasan Dentuman Besar agak mengada-ada, bahkan jika Georges Lemaitre menghubungkan itu dengan "creatio ex nihilo." Meskipun ada banyak penulis yang telah menyanggah teori dentuman besar seperti misalnya Fred Hoyle, Geoffrey Burbidge dan Halton Arp, di sini penulis hanya akan memberikan 3 sanggahan berdasarkan logika elementer yaitu:
a. Pertama: Tidak ada orang yang waras akan membangun rumah dengan meledakkan setumpuk bata dengan granat. Intinya, peluangnya amat sangat kecil bahwa segala keteraturan dan struktur yang kita amati di alam semesta ini merupakan hasil proses acak semata-mata. Dengan kata lain, model dentuman besar memiliki cacat logika yang serius.
b. kedua: kalkulasi yang teliti menunjukkan bahwa jika memang dentuman besar itu dulu terjadi karena fluktuasi vakum (vacuum fluctuation), maka implikasinya adalah konstanta kosmologi (cosmological constant) akan memiliki nilai lebih dari 10^10 kali lebih besar dari nilai yang diamati sekarang. Jadi jelas bahwa asumsi banyak ilmuwan bahwa dentuman besar dipicu oleh fluktuasi vakum itu hanyalah suatu anggapan yang tidak berdasar. (Memang akhir-akhir ini hipotesis bahwa dentuman besar berasal dari fluktuasi vakuum banyak memperoleh pendukung, terutama mereka yang berpendapat bahwa alam semesta dimulai dari ketiadaan; namun esensi argumen mereka adalah bahwa tidak diperlukan Pencipta atau Tuhan, lihat ref, (40)).
c. Teori dentuman besar memiliki anggapan utama yaitu bahwa alam semesta bermula dari suatu telur primordial yang sangat kecil. Hipotesis telur primordial (cosmic egg) ini diajukan pertama kali oleh Georges Lemaitre, berdasarkan temuan Edwin Hubble, seorang astronom Amerika Serikat. Jika hukum Hubble diekstrapolasi mundur maka akan ditemukan titik awal alam semesta. Titik awal itulah yang disebut singularitas atau big bang (15). Pertanyaannya: bagaimana jika dapat ditunjukkan bahwa tidak diperlukan singularitas untuk menjelaskan data-data astronomi?
Sayangnya, teori dentuman besar terlanjur diterima secara meluas sebagai sebuah fakta yang tidak terbantahkan, atau dalam istilah Lakatos: program riset (research program). Akibatnya hampir semua paper yang mengkritik teori tersebut akan serta-merta ditolak di jurnal ilmiah manapun, karena tidak sesuai dengan program riset yang diterima sebagai konsensus. Ini menunjukkan adanya represi dari otoritas ilmu di seluruh dunia. Lihat ref. (15). Bahkan Fred Hoyle pernah menyebut dentuman besar sebagai "religious fundamentalism"(6).
Sebagai catatan pinggir, tampaknya ironis bahwa kuliah umum Dr. Karlina Supelli yang bertajuk "Dari kosmologi menuju dialog", pada dasarnya hanya menjelaskan beberapa fitur utama dari Model Standar, padahal akhir-akhir ini mulai banyak muncul teori baru yang berupaya mengembangkan atau mengkritik Model Standar. Jika memang topiknya tentang kosmologi, bukankah lebih baik menjelaskan walaupun sedikit kemungkinan-kemungkinan teoretis di luar Model Standar? Misalnya saja, energi gelap bertolak dari asumsi homogen-isotropis dalam Model Standar, dan hal ini bisa dijelaskan dengan model kosmologi heterogen yang disebut model Lemaitre-Tolman-Bondi (LTB) yang menjelaskan bahwa energi gelap (dark energy) mungkin disebabkan oleh void yang sangat besar. Tanpa maksud menyindir bu Karlina yang saya hormati, izinkan saya mengatakan: tidakkah ironis bahwa kuliah berjudul "Dari kosmologi menuju dialog" itu disampaikan secara anti-dialogis?
Yang ingin penulis katakan di sini adalah bahwa penulis setuju dengan tesis bu Karlina tentang sifat antropologis dalam ilmu-ilmu alam termasuk kosmologi, namun bukankah sebaiknya hal itu juga tercermin dalam kesediaan untuk membuka cakrawala kita terhadap literatur selain yang memuji-muji Model Standar yang memang dominan, misalnya model kosmologi tanpa singularitas?
Namun demikian, syukurlah akhir-akhir ini ada juga beberapa ahli kosmologi yang mengajukan model kosmologi tanpa singularitas. Tentu keberanian mereka untuk mendobrak sebuah teori yang usang patut diapresiasi. Lihat misalnya ref. (16).
Dalam konteks Kej. 1, alam semesta bisa juga dianggap bersifat eternal, tapi bumi dan tata surya diciptakan dari semacam samudera primordial. Secara teologis, Allah Trinitas senantiasa berada secara dinamis dalam kekekalan, dan topik ini telah diangkat menjadi disertasi oleh Adrian Langdon (19).
Pendekatan lain yang marak ditempuh kalangan fisikawan eksperimental adalah mencoba menengok apa yang terjadi sebelum dentuman besar, meskipun tentu saja kadar spekulasi pendekatan ini cukup besar (17).
Kosmologi yang bercorak Kristologi
Salah satu hal yang paling mencolok dalam Hymne Yesus adalah tentang Logos yang menjadi manusia. Meskipun ada kemiripan antara gagasan Logos ini dengan konsep Logos sebagai aturan atau hukum abadi yang mengatur berbagai perubahan dalam alam semesta (misalnya Heraclitus, Stoics, dan Philo), ada banyak perbedaan signifikan di antara mereka (3, p. 186-287). Dalam Hymne Yesus, Logos itu bersifat personal, sehakikat dengan Allah Bapa, diperanakkan oleh Bapa, dan berinkarnasi menjadi manusia dan turun ke dalam dunia dan masuk dalam sejarah manusia. Jadi bukan dari manusia menjadi ilahi, tapi justru dari ilahi menjadi manusia. Mengenai pertanyaan apakah penyembahan terhadap Yesus sebagai Anak Allah, Kurios, dan Logos itu baru muncul pada tahap kemudian, atau memang merupakan keyakinan asli yang unik dari Gereja Perdana, bisa dilihat dalam karya James Dunn (43).
Meskipun pandangan tentang kosmos dalam terang Kristologi paling jelas nampak dalam Yoh. 1:1-14, tapi ada juga tulisan Paulus yang membahas tentang Kristologi kosmis, misalnya Kol. 1:15-17. Karena itu diduga bahwa Kristologi kosmik versi Yohanes memiliki kedekatan konseptual dengan Kristologi kosmik versi Paulus. Bahkan menurut John Gibbs, Kristologi Kosmik merupakan inti dari konsepsi Paulus tentang ketuhanan Yesus, yang tidak kurang pentingnya daripada teologi salib. Perlu dicatat bahwa konsep Paulus tentang ketuhanan Yesus bukan berasal dari Helenisme, melainkan berakar pada tradisi gereja purba itu sendiri. Bukti-bukti gabungan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa karya kosmik Kristus tidaklah kurang esensial bagi Kristologi Paulus dibandingkan dengan karya penebusan Kristus, lihat (4, p. 479).
Pertanyaannya kemudian: apakah memungkinkan untuk mengembangkan Kosmologi Kristologis dari suatu wacana teologis-ilmiah menjadi suatu ilmu yang emansipatoris?
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang bisa ditarik dari Hymne Yesus (Yoh. 1:14), di antaranya:
a. Firman dan Allah Bapa memiliki keberadaan dan kesatuan yang kekal. Implikasinya adalah Sabda dan Bapa memiliki identitas yang bersifat relasional.
b. Firman itu adalah sumber hidup bagi manusia.
c. Firman itu adalah terang dunia, dan kegelapan tidak dapat mengalahkannya.
d. Firman itu sudah rela turun ke dunia dan menjadi daging, yakni Yesus Kristus.
e. Firman Allah itu sangat berperan dalam proses penciptaan alam semesta (kosmos). Dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun yang jadi di antara semua ciptaan.
Dari ungkapan tersebut, maka jelas ada benturan antara Firman yang adalah terang dengan dunia yang gelap. Jadi tidak benar asumsi sejarah dialektis yang mengatakan bahwa kemajuan dalam peradaban manusia terjadi akibat benturan antara tesis dan antitesis (Hegel). Yang benar adalah ada benturan abadi karena dunia yang gelap cenderung menolak Sang Terang itu. Dengan demikian, kemajuan peradaban terjadi karena Terang itu sendiri yang memberikan terang-Nya kepada kegelapan dunia, sehingga dunia secara berangsur-angsur berubah menjadi semakin terang. Hal ini boleh dibayangkan mirip proses difusi atau osmosis.
Implikasi yang jelas di sini adalah mereka yang dipilih menjadi anak-anak Allah juga terpanggil untuk berkiprah dalam dunia, dengan aneka fungsi antara lain:
- fungsi kreasi: menciptakan kembali ketertiban,
- menerangi kegelapan dunia yang tidak mengenal Allah,
- memulihkan keteraturan di tengah kekacauan dunia (returning order),
- menjadi saksi bagi Kristus, Sang Firman
- menjahit dunia yang gelap dan penuh penderitaan (agak dekat dengan prinsip "tikkun olam" yang dipegang masyarakat Yahudi).
Logos sebagai inisiator aksi komunikatif
Dari teks Yoh. 1:1-14, kita dapat membaca bahwa Logos yang menjadi daging itu memanggil umat percaya untuk menjalankan fungsi emansipatoris, termasuk menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan komunikasi yang dialogis dengan sesama manusia, entah itu yang seagama atau bukan. Dalam konteks ini mungkin itu dapat dibandingkan dengan "communicative action" dalam filsafat Jurgen Habermas.
Menurut Habermas, yang dimaksud dengan aksi komunikatif adalah para aktor dalam masyarakat berupaya mencari pemahaman bersama dan mengoordinasikan tindakan melalui argumen yang beralasan, konsensus dan kooperasi dibandingkan langsung melakukan aksi strategi (Habermas 1984, Bolton 2005). Teori aksi komunikatif Habermas merupakan sintesis kritis dari teori-teori sosiologi terkemuka, terutama dari Parsons, Weber, dan Marx. Tujuan teoretisnya secara umum adalah menghubungkan teori aksi komunikatif sebagai salah satu varian dari teori aksi dengan teori sistem menjadi suatu pendekatan komprehensif pada teori sosial (27). Perlu dicatat bahwa teori sosial Habermas dan Marx memiliki banyak perbedaan yang mencolok, di antaranya bahwa paradigma Marx bergantung pada "ide materialisme dalam sosiologi", yaitu pada peran kerja dan cara-cara produksi dalam perubahan sosial sepanjang sejarah (27). Dengan adanya kritik Habermas terhadap teori kritis Marx ini, maka tampaknya pendekatan teologi pembebasan perlu dipertanyakan, termasuk juga gagasan Kristologi Kritis dari Leonardo Boff (Critical Christology). Namun, memang ada juga catatan kritis terhadap gagasan ranah publik Habermas, lihat (28).
Hipotesis saya adalah bahwa program aksi komunikatif yang diimpikan oleh Jurgen Habermas sebagai buah dari rasionalitas niscaya akan gagal karena dunia itu sendiri cenderung gelap, dan hanya bila Terang itu sendiri diijinkan menerangi dunia, maka aksi komunikatif itu menjadi mungkin. Jadi, menurut hemat saya aksi komunikatif hanya mungkin jika bertolak dari Kosmologi Kristologis.
Hal ini kiranya menjadi lebih jelas lagi dari etimologi mengenai kata theoros. Dalam budaya Yunani kuno, theoros adalah penonton (spectator) yang mengamati jalannya suatu perlombaan atletik kuno. Kemudian istilah itu dipinjam dalam konteks filsuf yang mengamati keteraturan dalam alam (Logos). Setelah ia mengamati maka diharapkan ia melakukan kontemplasi (theoria) yang akhirnya membawa pada perubahan hidup (mimesis). Atau seperti ditunjukkan oleh Kathleen Rushton, jika meminjam Remi Brague, kosmologi kuno bersifat retoris karena menyarankan aksi etis tertentu, atau suatu cara memandang dan berada di dalam dunia, lihat (5).
Hal ini agak kontras dengan Hymne Yesus, karena kita membaca bahwa bukan manusia (anthropos) yang aktif berusaha memahami keteraturan dunia, melainkan justru Logos itulah yang aktif bertindak dan berinkarnasi menjadi manusia. Ia rela hidup di tengah-tengah kegelapan dunia, dengan tujuan memulihkan hubungan dan komunikasi antara manusia dan Bapa. Dengan demikian, Logos itulah inisiator sejati akan aksi komunikatif yang bersifat praksis. Kita semua sebagai anak-anak Allah terpanggil untuk meneladan aksi komunikatif dari Sang Firman tersebut.
Meskipun para bapa gereja mulai Agustinus hingga Aquinas telah menganjurkan partisipasi gereja dalam ruang publik, demikian juga para pengikut Calvin modern hingga Herman Dooyeweerd (22), penulis kurang yakin apakah hipotesis oenulis bahwa aksi komunikatif yang sejati mesti dimulai dari Kristologi sudah pernah diusulkan sebelumnya. Sejauh ini penulis hanya menemukan satu buku yang membahas dukungan terhadap teori aksi komunikatif Habermas dari sudut pandang teologi (10). Lihat juga (11). Topik mengenai peran agama dalam ranah publik telah dibahas secara cukup mendalam di tempat lain, lihat (23)-(26).
Dari sudut pandang teologis, bahkan patut dipertimbangkan bahwa mungkin istilah yang lebih tepat bagi tindakan inkarnasi Yesus sebagai manusia adalah "communion action," bukan saja "communicative action", karena Yesus datang ke dunia untuk membawa manusia kembali "in communion with God." Hal ini mungkin bisa dihubungkan dengan pemahaman Catherine Mowry LaCugna terhadap Trinitas sebagai "Persons in communion". (20)
Dari sudut pandang teks Alkitab, memang tidak banyak ayat yang bisa diangkat untuk meneguhkan hipotesis ini, selain Amsal 29:18 yang berbunyi : "jika tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat." Artinya jika proses perkembangan masyarakat diserahkan pada dialektika sejarah, atau dalam bahasa ekonomi disebut sebagai mekanisme pasar, maka hasilnya hanyalah kekacauan belaka. Itulah yang akan terjadi jika masyarakat tidak diterangi oleh wahyu dari atas, yaitu sang Firman itu sendiri. Bukankah kita dapat belajar akan hal tersebut dari kekacauan finansial tahun 2008-2010 yang melanda Amerika Serikat dan beberapa negara maju? Salah satu diktum dalam teori ekonomi modern adalah bahwa liberalisasi finansial merupakan prekursor (awal) dari krisis.
Demikian pula, jika sebuah kota atau desa diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar dan tidak direncanakan dengan baik untuk menjalankan fungsi-fungsi emansipatoris melalui pengembangan demokrasi di tingkat desa dan kota guna mewadahi partisipasi masyarakat, maka hasilnya adalah kekacauan.
Satu hal lagi yang dapat dicatat di sini, adalah bahwa Kristologi kosmik sebagaimana terungkap dalam Hymne Yesus itu membuka kemungkinan dialog dengan umat beragama lainnya. Misalnya dalam ilmu kalam (muslim), Allah menciptakan dunia melalui Sabda-Nya (kalimat-Nya). Meskipun demikian, gelar Isa sebagai "Kalimatullah" dalam Quran (3:45, 4:171, 3:39) mungkin tidak sepenuhnya memiliki pengertian yang sama dengan pemahaman umat Kristen akan Yesus sebagai Sabda yang menjadi manusia. Namun, ini dapat menjadi salah satu titik temu untuk membuka dialog dengan umat Muslim. Untuk melihat wajah Yesus/Isa dalam Islam, lihat misalnya ref. (36).
Selain itu, dalam kepercayaan Hindu kuno diyakini bahwa alam semesta diciptakan oleh ucapan Brahma, sehingga muncul konsep tentang suara sakral (sacred voice). Sehingga ada pandangan bahwa Tuhan tidak lain menyatakan diri-Nya dalam suara yang berkesadaran (sound-consciousness). Lihat (21). Meskipun bukan pendekatan yang lazim, dari titik temu ini dapat dikembangkan penjelasan, bahwa Brahma agak dekat dengan konsep kristen tentang Bapa, sementara sacred voice itu dekat dengan konsep kristen tentang Yesus sebagai Firman Allah yang berkuasa menciptakan. Jadi, Hymne Yesus tentang "Sabda yang menjadi manusia" merupakan tandon makna (reservoir of meaning) yang luas untuk menjadi titik tolak perjumpaan dialogis dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.
Salah satu implikasi dari pemikiran yang disampaikan di sini adalah tentang Kristus, yang tidak saja rela berinkarnasi ke dalam dunia namun juga aktif berdialog secara terbuka baik dengan murid-murid maupun dengan orang-orang Yahudi yang skeptis. Hal ini tampaknya juga merupakan panggilan bagi gereja agar mesti lebih aktif berperan dalam ranah publik. Hal ini penting bukan saja dalam konteks menerangi dunia yang carut-marut dan kacau, tapi juga dalam rangka membangun saling pemahaman. Itulah makna dari aksi komunikatif dalam terang Kristologi Yohanin. Lihat (29)-(31).
Kesimpulan dan Implikasi (sementara)
1. Meskipun ada perbedaan, baik pendekatan Trinitarian maupun Kristologi dapat menjadi titik tolak untuk mengembangkan kosmologi yang dekat dengan biblika. Model kosmologi yang bertolak dari Trinitarian atau Kristologi memiliki implikasi etis-praktis, sementara kosmologi yang bertolak dari dentuman besar atau turunannya cenderung menempatkan manusia dalam posisi tidak berdaya di tengah panggung kosmis.
2. Baik pendekatan Trinitarian maupun Kristologi sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi titik tolak dialog dalam konteks pluralisme agama.
3. Adalah mungkin setidaknya pada tataran wacana untuk menggagas dan mengembangkan suatu konsep kosmologi bertolak dari pendekatan biblika atau teologi sistematika, yang berwatak emansipatoris. Artinya bukan sekadar ilmu kosmologi yang berisikan pengamatan (observasi) terhadap gejala-gejala alam, tapi juga mengundang pengamat untuk menjadi peserta (partisipan) dan berkiprah secara aktif dalam tindakan nyata. Itulah panggilan gereja untuk meneladan Kristus yang berinkarnasi dan bekerja di tengah dunia yang gelap.
4. Pendekatan materialisme dalam sosiologi maupun sejarah sebagaimana diusulkan oleh Marx tidak memadai sebagai model bagi masyarakat, karena mengabaikan peran penting komunikasi dan interaksi.
5. Dalam makalah ini tidak ada hal yang baru mengenai Trinitas maupun Kristologi. Meskipun penulis menggunakan istilah emansipatoris, tapi kata ini mesti dimaknai secara luas. Penulis bukanlah seorang feminis.
6. Meskipun penulis tidak sedang menganjurkan ajaran Injil Sosial (Social Gospel), tapi setidaknya gereja dapat mulai aktif membangun komunikasi intens dengan masyarakat misalnya dengan cara berdialog secara terbuka tentang isyu-isyu teologis dalam ranah publik (public sphere). Dalam interaksi yang dialogis itulah terbuka kesempatan untuk saling bertukar pemahaman tentang Trinitas, Kristologi dan lain-lain dengan umat beragama lainnya. Dialog semacam itu perlu ditempuh meski tentunya tidak membuat semua orang bertobat dalam sekali jalan. Dalam Yoh. 7:14-8:59 dikisahkan bahwa Yesus juga sering berkomunikasi secara terbuka dengan orang-orang Yahudi walaupun hasilnya mengecewakan.
7. Kini, berbagai sarana media online menyediakan ruang yang luas ke arah itu.
Dalam makalah ini, penulis hanya sempat menuangkan beberapa ide pokok saja, dengan harapan akan dapat memicu gagasan-gagasan yang lebih mendalam dari pembaca. Perkenankan penulis menutup tulisan ini dengan mengutip satu kalimat yang menurut rumor diucapkan Einstein: tahun ini semua jawaban akan berbeda. ("This year all answers are different.") Lihat (41)
Referensi utama:
(1) Robert C. Neville. Creation and the Trinity. Theological Studies Vol. 30 (March 1969), 3-26. Url: http://www.robertcummingsneville.com/robert-neville-articles
(2) Christos S. Voulgaris. The Holy Trinity in Creation and Incarnation. The Greek Orthodox theological review, vol. 42/3-4, 1997. url: http://www.apostoliki-diakonia.gr
(3) Russel Bradner Norris, Jr. Logos Christology as Cosmological Paradigm. Pro Eclessia vol. v no. 2
(4) John G. Gibbs. Pauline Cosmic Christology and ecological crisis. Journal of Biblical Literature Vol. 90, no. 4 (Dec. 1971), pp. 466-479. Url: www.jstor.org
(5) Kathleen P. Rushton. The Cosmology of John 1:1-14 and its implications for ethical action in this ecological age. Colloquium 45/2, 2013. url: http://brisbaneansatz.org/2014/02/16/colloquium
Referensi sekunder:
(6) Stanford Encyclopedia of Philosophy. Cosmology and Theology. http://plato.stanford.edu/entries/cosmology-theology/
(7) Karlina Supelli dkk. Dari kosmologi ke dialog. Bandung: Penerbit Mizan, 2010.
(8) Jurgen Habermas. The Theory of Communicative Action, 2 vols. Boston: Beacon Press, 1984.
(9) Roger Bolton. Habermas's theory of communicative action and the theory of social capital.
(10) Maureen Junker-Kenny. Habermas and Theology. New York: T&T Clark International, 2011. Lihat chapter 1, p. 1-40
(11) Nicholas Adams. Habermas and Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
(12) V-M. Karkkainen. Trinitas dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
(13) David A. Leeming. Creation myths of the world, second edition. Santa Barbara: ABC-CLIO, 2010.
(14) Eugenie C. Scott. Evolution vs. Creationism: An Introduction. Westport: Greenwood Press, 2004.
(15) Jerry Bergman. A brief history of intolerance in modern cosmology. Answers Research Journal 2 (2009): 1-9. Url: http://answersingenesis.org
(16) Ovidiu Christinel Stoica. The Friedmann-Lemaitre-Robertson-Walker big bang singularities are well behaved. Arxiv: 1112.4508 (2011). Lihat juga (16a) E.I. Guendelman, creating the universe without a singularity and the cosmological constant problem. Arxiv: 1306.4977 (2013)
(17) "The cosmos - before the big bang," New Scientist magazine, issue 2601, april 2007
(18) Wayne J. Hankey. Theoria versus poesis: Neoplatonism and Trinitarian difference from Aquinas, John Milbank, Jean-Luc Marion, John Zizoulas. Modern Theology15:4, october 1999
(19) Adrian E.V. Langdon. God the eternal contemporary: Trinity, Eternity and time in Karl Barth's church dogmatics. PhD dissertation to McGill University, 2008.
(20) Mary Catherine Hilkert. The Mystery of Persons in communion: The Trinitarian theology of Catherine Mowry LaCugna. Word and World, vol. xviii, no. 3, summer 1999.
(21) Irene Ludji. God as sound-consciousness. Indonesian Journal of Theology Vol. 2 No. 1 (2014), url: https://journalteologi.files.wordpress.com/2014/09/04-ijt-2-1-2014-god-as-sound-consciousness4.pdf
(22) David W. Hall. Calvin di ranah publik: demokrasi liberal, hak asasi, dan kebebasan sipil. Surabaya: Penerbit Momentum, 2009.
(23) The Holberg Prize Seminar 2005. Religion in the public Sphere. Ludbig Holberg Semina Fund, Seminar report, 2005.
(24) Jurgen Habermas and Christian Lenhardt. A postscript to knowledge and human interests? Philosophy of the social sciences 1973, 3:157. Url: http://pos.sagepub.com
(25) Jurgen Habermas. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: MIT Press, 1991.
(26) Jurgen Habemas, Religion in the Public Sphere. Url: http://www.sandiego.edu
(27) Ljubisa Mitrovic. New social paradigm: Habermas's theory of communicative action. Facta Universitatis, Philosophy and Sociology, vol. 2, no. 6/2, 1999, 217-223
(28) S. Susen. Critical Notes on Habermas's theory of the Public sphere. Sociological Analysis, 5(1), pp. 37-62. Url: http://openaccess.city.ac.uk/1101
(29) Stig Hjarvard. The Mediatization of Religion: a theory of the media as an agent of religious change. Paper presented to the 5th Intl. Confr. On Media, Religion, and Culture: Mediating religion in the context of multicultural tension. The Sigtuna Foundation, Sweden, 6-9 July, 2006.
(30) Mark Chaves and Philip S. Gorski. Religious Pluralism and Religious Participation. Annual Review of Sociology, Vol. 27 (2001), pp. 261-281. Www.jstor.org
(31) Veit Bader. Religious diversity and democratic institutional pluralism. Political Theory 2003, 31, 265. Url: http://ptx.sagepub.com
(32) Chad Meister. Introducing Philosophy of Religion. New York: Routledge, 2009. Chapter IV: Cosmological arguments for God's existence.
(33) Robert Letham. Allah Trinitas. Surabaya: Penerbit Momentum, 2011. h. 96-97
(34) M.C. Steenberg. Irenaus on creation: The Cosmic Christ and the Saga of redemption. Leiden: Brill, 2008. P. 63-64
(35) Vincent Brummer. Atonement, Christology and the Trinity: making sense of Christian doctrine. Hampshire: Ashgate, 2005. P. 97-107.
(36) Gregory A. Barker & Stephen E. Gregg. Jesus beyond Christianity: the classic texts. Oxford: Oxford University Press, 2010.
(37) Russell L. Friedman. Medieval Trinitarian Thought from Aquinas to Ockham. Cambridge: Cambridge University Press, 2010. P. 52-56
(38) Leon Turner. Theology, Psychology and the Plural self. Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2008; (38a) Karl Rahner. The Trinity. London: Burns & Oates, reprinted 2001, p. 115-118.
(39) Achmad Chusairi. Diri-jamak (plural self): diri dalam tinjauan psikologi diskursif. Jurnal Insan vol. 12 no. 01, april 2010 (ringkasan tesis di Fakuktas Psikologi UGM, Yogyakarta)
(40) Natalie Wolchover. What's the total energy in the universe? url: http://www.livescience.com/33129-total-energy-universe-zero.html
(41) According to story, one student came to Einstein and asked him: "The questions in this year's exam is the same with last years." "True," replied Einstein, "but this year all answers are different." see http://www.juliantrubin.com/einsteinjokes.html
(42) Ajat Sudrajat. Jurgen Habermas: Teori Kritis dengan paradigma komunikasi. Url: http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Ajat%20Sudrajat,%20Prof.%20Dr.%20%20M.Ag./Jurgen%20Habermas%20-%20Teori%20Kritis%20dengan%20Paradigma%20Komunikasi.pdf
(43) James D.G. Dunn. Did the first Christians worship Jesus? New Testament evidence. London: SPCK, 2010.
Versi 1.0: 7 juni 2015, pk. 3:36; versi 1.1: 9 juni 2015, pk. 7:29, versi 1.2: 15 juni 2015 pk. 00:51, versi 1.3: 21 juni 2015, pk. 22:36
VC, email: victorchristianto@gmail.com
Note: terimakasih khususnya kepada Pdt. Dr. B.A. Abednego (alm.) yang memperkenalkan penulis pada pemikiran Jurgen Habermas, sekitar 25 thn yang lalu. Juga terimakasih kepada Dr. Karlina Supelli atas tanggapan yang baik terhadap beberapa pertanyaan penulis melalui email. Banyak terimakasih dan respek kepada Prof. Liek Wilardjo (Salatiga) dan Prof. Eduardo I. Guendelman (Ben Gurion) yang telah menjadi rekan dialog sejak 2001. Akhirnya, terimakasih kepada Dr. Bambang Noorsena, SH. atas berbagai kesempatan diskusi serta penjelasan tentang hubungan antara Memra, Logos dan gelar Kalimatullah bagi Isa Almasih. Namun, pemikiran yang dipaparkan di sini merupakan hasil refleksi penulis secara independen. Tulisan ini belum pernah dikirim ke majalah atau jurnal mana pun.
Victor Christianto
*Founder and Technical Director, www.ketindo.com
E-learning and consulting services in renewable energy
**Founder of Second Coming Institute, www.sci4God.com
Http://www.facebook.com/vchristianto
Twitter: @Christianto2013
Phone: (62) 812-30663059
***Papers and books can be found at:
http://nulisbuku.com/books/view_book/9035/sangkakala-sudah-ditiup
http://www.unesco.chair.network.uevora.pt/media/kunena/attachments/731/ChristologyReloaded_Aug2016.pdf
http://fs.gallup.unm.edu/APS-Abstracts/APS-Abstracts-list.htm
http://independent.academia.edu/VChristianto
Http://researchgate.net/profile/Victor_Christianto/
Http://id.linkedin.com/pub/victor-christianto/b/115/167
http://www.amazon.com/Victor-Christianto/e/B00AZEDP4E
http://www.amazon.com/Jesus-Christ-Evangelism-Difficult-ebook/dp/B00AZDJCLA
Http://gospel.16mb.com
http://www.kenosis4mission.tk
http://www.twelvegates.tk
Topik: Studi Komparatif atas Kosmologi Kristologis dan Kosmologi Trinitaris: Menuju kosmologi emansipatoris
Oleh Victor Christianto,* email: victorchristianto@gmail.com,
* url: http://independent.academia.edu/VChristianto
Pendahuluan
Tulisan singkat ini dipersiapkan sebagai bahan diskusi panel imajiner yang bertopik Perbandingan konsep kosmologi yang bertolak dari Kristologi dan Trinitas. Mengingat topik ini sangat luas, maka saya membuat beberapa asumsi untuk membatasi, di antaranya:
a. Saya menganggap bahwa para peserta diskusi ini memiliki latar belakang pemahaman yang memadai mengenai apakah yang dimaksud dengan Kristologi dan Trinitas, jadi saya tidak akan mengulangi definisi-definisi dasar.
b. meskipun pada umumnya yang dimaksud kalangan fisikawan dengan kosmologi adalah cabang ilmu alam yang mempelajari proses pembentukan dan perkembangan alam semesta, dalam konteks diskusi ini saya akan membahas kosmologi sebagai suatu kerangka berpikir konseptual terhadap alam semesta, artinya tidak harus dikonfirmasi secara empiris.(6)
Tulisan ini dibuat dengan kesadaran bahwa dalam 7-8 dekade terakhir ini telah mengemuka berbagai teori kosmologi yang tidak menyebut sama sekali tentang Tuhan, di mana peran manusia menjadi lenyap dalam drama ruang dan waktu kosmis, dan hal ini telah menjadi tantangan khusus bagi banyak orang Kristen baik awam maupun teolog yang masih bersandar akan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta (3, p. 184). Memang sebagian pemikir Kristen beranggapan bahwa teori-teori kosmologi modern seperti dentuman besar cukup dekat dengan ajaran biblikal tentang penciptaan, tapi tidak sedikit pula yang berpikiran bahwa dentuman besar justru menggantikan peran Tuhan dalam penciptaan dengan suatu proses kebetulan acak yang dipicu oleh fluktuasi vakum. Sebagian yang lain berpendapat bahwa titik singular di mana alam semesta mulai mengembang tidak perlu disamakan dengan titik terjadinya penciptaan (point of creation). Kiranya persoalan ini lebih mendalam daripada sekadar mempertahankan gagasan penciptaan 6-hari.
Situasi dilematis yang agak mirip juga muncul dalam pertanyaan tentang asal mula kehidupan di bumi, di mana pandangan klasik, seperti pernah dibuktikan oleh Louis Pasteur melalui eksperimen, menyatakan bahwa asal kehidupan adalah dari kehidupan (biogenesis), sementara perkembangan sains terbaru cenderung mendukung gagasan bahwa kehidupan terjadi secara spontan dari reaksi-reaksi kimia sederhana, bahkan teori mutakhir menjelaskan adanya nenek moyang bersama yang disebut Last Universal Common Ancestor (LUCA).
Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai umat Kristen dalam menyikapi pelbagai dilema tersebut? Tulisan ini merupakan ungkapan keresahan yang dirasakan penulis sehubungan dengan arah kosmologi modern dan dilema-dilema yang dihadapi umat kristen yang ingin memegang teguh imannya, karena itu penulis akan berusaha melihat kosmologi dari perspektif Trinitas dan Kristologi.
Pada dasarnya penulis sependapat dengan Norris, Jr., bahwa perlu dikembangkan suatu paradigma kosmologi baru yang lebih dapat memberikan respons terhadap kosmologi modern tersebut (3, p. 185). Dialog antara kosmologi dan Kitab Suci (Scripture) memang dimungkinkan dan diperlukan, khususnya jika kita mengutip pemikiran para Kristolog abad ke-6 seperti St. Maximus the Confessor. Menurut Paul M. Blowers, teologi Maximus memungkinkan kita untuk melakukan: "scripturalizing" of the cosmos and "cosmologizing" of the scripture. (3, p. 199)
Kosmologi sebagai ilmu emansipatoris
Ketika penulis diberi topik ini untuk dibahas, sejujurnya belum ada bayangan apa yang akan dikupas, karena topik Trinitas akhir-akhir ini sangat ramai dibicarakan misalnya dalam buku V-M. Karkkainen: Trinitas dan Pluralisme Agama (11). Jadi penulis agak khawatir bahwa presentasi ini tidak akan menambahkan sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran teologi.
Lalu penulis teringat pada sebuah buku yang meskipun agak lama tetapi masih sering diulas dalam berbagai kesempatan di beberapa STT di Indonesia, yaitu "Dari kosmologi ke dialog," yang berisi kuliah umum Dr. Karlina Supelli di Universitas Paramadina sekitar tahun 2010 beserta komentar dari para pakar (7). Salah satu hal yang menarik dari buku tersebut adalah bu Karlina sepertinya berusaha memberikan tugas baru kepada kosmologi, dari sekadar disiplin ilmu alam yang kering, menjadi suatu jembatan dialog. Dalam pemahaman penulis, bu Karlina tampaknya ingin memperluas disiplin kosmologi menjadi sebuah ilmu yang berwatak emansipatoris, jika boleh meminjam istilah Jurgen Habermas. (42)
Kata Emancipatory memiliki akar kata yang sama dengan emancipation, dan yang terakhir ini menurut kamus WordWeb berarti "freeing someone from the control of another person or from legal or political restrictions." Emansipatoris dalam konteks ini kiranya boleh dimaknai secara bebas sebagai upaya memperbaiki kondisi masyarakat, baik dengan cara membebaskan suatu masyarakat dari kontrol represif pihak lain, termasuk juga menegakkan keadilan maupun mewujudkan dialog yang bermakna dengan umat beragama lain.
Menurut Karlina Supelli, kosmologi dapat didefinisikan sebagai berikut: "Sains tentang struktur skala besar alam semesta serta evolusinya, dan postulat-postulat yang perlu dibangun sehingga kosmologi itu sendiri menjadi mungkin." (ref. 7, h. 37) Secara garis besar, penulis setuju dengan "visi" Dr. Karlina Supelli tentang dialog sebagai tujuan akhir dari studi kosmologi, terutama jika kita berangkat dari pemahaman bahwa akhir-akhir ini kian disadari bahwa dalam ilmu-ilmu alam, fakta-fakta empiris hanya dapat dijelaskan berdasarkan kerangka penafsiran tertentu. Kerangka penafsiran ini sering disebut sebagai paradigma. Lihat (3, p. 1)
Dalam konteks tersebut, maka penulis akan memaparkan dalam tulisan ini apakah mungkin dan sejauh mana kita dapat mengembangkan Kosmologi yang terinspirasi dari alkitab, baik yang Kristologis maupun Trinitarian, dalam kaitannya dengan wacana aksi komunikatif ala Jurgen Habermas. Tentunya topik yang luas ini hanya akan disinggung secara serba ringkas.
Harapan penulis adalah kiranya tulisan ini menyumbang dalam mengembangkan suatu wacana alternatif tentang bagaimana gereja dapat berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil, demokratis melalui aksi komunikatif, selain dalam rangka mengembangkan dialog di tengah pluralitas beragama di Indonesia.
Untuk membandingkan, jika Karkkainen berupaya mengembangkan teologi agama-agama bertolak dari teologi Trinitarian, maka dalam tulisan ini penulis akan berusaha memaparkan kemungkinan mengembangkan Kosmologi yang berwatak emansipatoris.
Kosmologi yang bercorak Trinitarian
Pertama-tama, mesti diakui bahwa belum ada konsep kosmologi Trinitarian yang cukup mapan, apalagi yang sudah sampai pada tahap konfirmasi empiris. Neville juga menulis bahwa pemikiran tentang Trinitas senantiasa berakar sekaligus pada wahyu dan spekulasi (1). Titik tolak dari konsep Trinitas adalah Kristologi, dan tesis Kristologi berakar pada keyakinan bahwa Yesus adalah Putra Allah karena Ia adalah Sabda yang menjadi manusia (1, p.9). Dari sini dapat ditarik suatu pemikiran dasar bahwa doktrin Trinitas pada awalnya bermula dari Kristologi, khususnya Kristologi menurut Perjanjian Baru.
Demikianlah jika kita membaca PL dari lensa PB, kita melihat bahwa sejak di Kej. 1:1-2 sudah disebut tentang peran Allah (Bapa), Roh Allah yang melayang-layang dan juga firman Allah yang berkuasa (dabar YHWH). Jika saja kita dapat mengabaikan bahwa kitab Kejadian ditulis oleh seorang Yahudi yang monoteistik, maka penyebutan ketiga aktor tersebut sudah cukup memadai bagi kita untuk mengatakan bahwa cikal-bakal kosmologi Trinitarian sudah ada sejak Kej. 1. Menurut St. Basil, Allah Bapa adalah "primordial cause of everything that has been made," Sang Putra adalah "the operative cause," dan Roh Kudus adalah "the perfecting cause." Lihat (2) p. 250.
Memang sejak bapa-bapa gereja termasuk Irenaeus dan Aquinas, orang Kristen umumnya beranggapan yang dimaksud dengan penciptaan menurut Alkitab adalah penciptaan dari kekosongan (creatio ex nihilo). Irenaeus misalnya menulis bahwa ada satu Allah Bapa yang esa, yang menciptakan segala sesuatu dari tidak ada melalui Firman-Nya. Ia berulang kali menulis tentang Bapa yang telah menciptakan dengan duatangan-Nya (29). Tentu yang dimaksud dengan dua tangan itu adalah Sang Firman dan Roh Kudus. Meskipun Irenaeus menjelaskan konsep tersebut untuk membaca Kej. 1:1-4,26,27 tapi tentu saja pandangan itu bersumber pada ajaran rasuli tentang Kristus yang bangkit. Dengan kata lain, pandangan trinitarian Irenaeus sebenarnya bermula dari Kristologi. Satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa istilah Trinitas itu sendiri belum dikenal pada abad kedua M (masa Irenaeus), karena istilah itu baru muncul sekitar abad ketiga dan keempat. Jadi kurang tepat kiranya untuk membaca karya Irenaeus dari sudut pandang perkembangan pemikiran satu atau dua abad sesudahnya (34).
Dalam perkembangan kemudian, beberapa orang membedakan antara Trinitarianisne sosial dan latin, yang intinya sbb. (35):
a. Trinitariansme sosial: "three distinct and discrete persons." Tapi ini mungkin lebih cocok disebut triteisme, walaupun ada yang mempertahankan konsep ini tetap sebagai monoteisme. Misalnya: Plantinga, Moltmann (?)
b. trinitarianisme latin: "three persons in one substance." Model ini dikembangkan lebih lanjut menjadi model psikologi oleh Agustinus dari Hippo dalam karyanya De trinitate (37).
Sekadar catatan pinggir, dalam versi modern tampaknya model psikologi ini bisa dihubungkan dengan teori "plural self" (38). Konsep diri jamak ini sudah diteliti secara serius dalam psikologi modern (39). Artinya, manusia sebagai gambar Allah juga memiliki identitas yang kompleks (plural), dan kenyataan itu saya kira merupakan petunjuk tidak langsung bahwa monoteisme kompleks (Trinitas) lebih relevan dibandingkan dengan monoteisme simpel. Namun demikian, Karl Rahner telah membahas beberapa masalah yang ada dengan model psikologi terhadap Trinitas, dan dia lebih suka menggunakan istilah "hipotesis." Lihat (38a). Lebih lanjut, untuk diskusi tentang berbagai pemikiran modern tentang Trinitas dalam hubungannya dengan pascamodernisme, lihat misalnya (18).
Kembali pada narasi biblika tentang penciptaan, sebenarnya teori tentang penciptaan dari ketiadaan bukanlah satu-satunya kemungkinan, karena ada beberapa kemungkinan penafsiran alternatif terhadap penuturan Kej. 1, misalnya (13):
- penciptaan dari khaos asali: jika "tohu wa bohu" dapat diarikan sebagai kacau dan tidak berbentuk.
- penciptaan dari semacam samudera purba (primordial fluid)
- penciptaan menerus (creatio continuans): Robert Millikan
- penciptaan siklis (cyclic universe): Roger Penrose
- alam semesta mengembang sejak waktu ananta: Fred Hoyle
- Satu lagi kemungkinan: penciptaan tanpa singularitas.
Problem dengan teori dentuman besar
Jika memang bisa dikembangkan teori kosmologi yang sesuai dengan data observasi tapi tanpa melibatkan hipotesis singularitas, maka itu berarti dentuman besar (big bang) menjadi tidak relevan lagi. Dari sudut pandang teologis, Aquinas berpendapat bahwa keberadaan Tuhan tidak secara mutlak menyarankan alam semesta yang usianya terbatas, dan posisi ini didukung misalnya oleh Arthur Peacocke dan Ian Barbour, lihat (6). Dengan kata lain, teori dentuman besar bukan merupakan syarat perlu akan bukti kehadiran Tuhan.
Penulis sendiri berpendapat bahwa gagasan Dentuman Besar agak mengada-ada, bahkan jika Georges Lemaitre menghubungkan itu dengan "creatio ex nihilo." Meskipun ada banyak penulis yang telah menyanggah teori dentuman besar seperti misalnya Fred Hoyle, Geoffrey Burbidge dan Halton Arp, di sini penulis hanya akan memberikan 3 sanggahan berdasarkan logika elementer yaitu:
a. Pertama: Tidak ada orang yang waras akan membangun rumah dengan meledakkan setumpuk bata dengan granat. Intinya, peluangnya amat sangat kecil bahwa segala keteraturan dan struktur yang kita amati di alam semesta ini merupakan hasil proses acak semata-mata. Dengan kata lain, model dentuman besar memiliki cacat logika yang serius.
b. kedua: kalkulasi yang teliti menunjukkan bahwa jika memang dentuman besar itu dulu terjadi karena fluktuasi vakum (vacuum fluctuation), maka implikasinya adalah konstanta kosmologi (cosmological constant) akan memiliki nilai lebih dari 10^10 kali lebih besar dari nilai yang diamati sekarang. Jadi jelas bahwa asumsi banyak ilmuwan bahwa dentuman besar dipicu oleh fluktuasi vakum itu hanyalah suatu anggapan yang tidak berdasar. (Memang akhir-akhir ini hipotesis bahwa dentuman besar berasal dari fluktuasi vakuum banyak memperoleh pendukung, terutama mereka yang berpendapat bahwa alam semesta dimulai dari ketiadaan; namun esensi argumen mereka adalah bahwa tidak diperlukan Pencipta atau Tuhan, lihat ref, (40)).
c. Teori dentuman besar memiliki anggapan utama yaitu bahwa alam semesta bermula dari suatu telur primordial yang sangat kecil. Hipotesis telur primordial (cosmic egg) ini diajukan pertama kali oleh Georges Lemaitre, berdasarkan temuan Edwin Hubble, seorang astronom Amerika Serikat. Jika hukum Hubble diekstrapolasi mundur maka akan ditemukan titik awal alam semesta. Titik awal itulah yang disebut singularitas atau big bang (15). Pertanyaannya: bagaimana jika dapat ditunjukkan bahwa tidak diperlukan singularitas untuk menjelaskan data-data astronomi?
Sayangnya, teori dentuman besar terlanjur diterima secara meluas sebagai sebuah fakta yang tidak terbantahkan, atau dalam istilah Lakatos: program riset (research program). Akibatnya hampir semua paper yang mengkritik teori tersebut akan serta-merta ditolak di jurnal ilmiah manapun, karena tidak sesuai dengan program riset yang diterima sebagai konsensus. Ini menunjukkan adanya represi dari otoritas ilmu di seluruh dunia. Lihat ref. (15). Bahkan Fred Hoyle pernah menyebut dentuman besar sebagai "religious fundamentalism"(6).
Sebagai catatan pinggir, tampaknya ironis bahwa kuliah umum Dr. Karlina Supelli yang bertajuk "Dari kosmologi menuju dialog", pada dasarnya hanya menjelaskan beberapa fitur utama dari Model Standar, padahal akhir-akhir ini mulai banyak muncul teori baru yang berupaya mengembangkan atau mengkritik Model Standar. Jika memang topiknya tentang kosmologi, bukankah lebih baik menjelaskan walaupun sedikit kemungkinan-kemungkinan teoretis di luar Model Standar? Misalnya saja, energi gelap bertolak dari asumsi homogen-isotropis dalam Model Standar, dan hal ini bisa dijelaskan dengan model kosmologi heterogen yang disebut model Lemaitre-Tolman-Bondi (LTB) yang menjelaskan bahwa energi gelap (dark energy) mungkin disebabkan oleh void yang sangat besar. Tanpa maksud menyindir bu Karlina yang saya hormati, izinkan saya mengatakan: tidakkah ironis bahwa kuliah berjudul "Dari kosmologi menuju dialog" itu disampaikan secara anti-dialogis?
Yang ingin penulis katakan di sini adalah bahwa penulis setuju dengan tesis bu Karlina tentang sifat antropologis dalam ilmu-ilmu alam termasuk kosmologi, namun bukankah sebaiknya hal itu juga tercermin dalam kesediaan untuk membuka cakrawala kita terhadap literatur selain yang memuji-muji Model Standar yang memang dominan, misalnya model kosmologi tanpa singularitas?
Namun demikian, syukurlah akhir-akhir ini ada juga beberapa ahli kosmologi yang mengajukan model kosmologi tanpa singularitas. Tentu keberanian mereka untuk mendobrak sebuah teori yang usang patut diapresiasi. Lihat misalnya ref. (16).
Dalam konteks Kej. 1, alam semesta bisa juga dianggap bersifat eternal, tapi bumi dan tata surya diciptakan dari semacam samudera primordial. Secara teologis, Allah Trinitas senantiasa berada secara dinamis dalam kekekalan, dan topik ini telah diangkat menjadi disertasi oleh Adrian Langdon (19).
Pendekatan lain yang marak ditempuh kalangan fisikawan eksperimental adalah mencoba menengok apa yang terjadi sebelum dentuman besar, meskipun tentu saja kadar spekulasi pendekatan ini cukup besar (17).
Kosmologi yang bercorak Kristologi
Salah satu hal yang paling mencolok dalam Hymne Yesus adalah tentang Logos yang menjadi manusia. Meskipun ada kemiripan antara gagasan Logos ini dengan konsep Logos sebagai aturan atau hukum abadi yang mengatur berbagai perubahan dalam alam semesta (misalnya Heraclitus, Stoics, dan Philo), ada banyak perbedaan signifikan di antara mereka (3, p. 186-287). Dalam Hymne Yesus, Logos itu bersifat personal, sehakikat dengan Allah Bapa, diperanakkan oleh Bapa, dan berinkarnasi menjadi manusia dan turun ke dalam dunia dan masuk dalam sejarah manusia. Jadi bukan dari manusia menjadi ilahi, tapi justru dari ilahi menjadi manusia. Mengenai pertanyaan apakah penyembahan terhadap Yesus sebagai Anak Allah, Kurios, dan Logos itu baru muncul pada tahap kemudian, atau memang merupakan keyakinan asli yang unik dari Gereja Perdana, bisa dilihat dalam karya James Dunn (43).
Meskipun pandangan tentang kosmos dalam terang Kristologi paling jelas nampak dalam Yoh. 1:1-14, tapi ada juga tulisan Paulus yang membahas tentang Kristologi kosmis, misalnya Kol. 1:15-17. Karena itu diduga bahwa Kristologi kosmik versi Yohanes memiliki kedekatan konseptual dengan Kristologi kosmik versi Paulus. Bahkan menurut John Gibbs, Kristologi Kosmik merupakan inti dari konsepsi Paulus tentang ketuhanan Yesus, yang tidak kurang pentingnya daripada teologi salib. Perlu dicatat bahwa konsep Paulus tentang ketuhanan Yesus bukan berasal dari Helenisme, melainkan berakar pada tradisi gereja purba itu sendiri. Bukti-bukti gabungan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa karya kosmik Kristus tidaklah kurang esensial bagi Kristologi Paulus dibandingkan dengan karya penebusan Kristus, lihat (4, p. 479).
Pertanyaannya kemudian: apakah memungkinkan untuk mengembangkan Kosmologi Kristologis dari suatu wacana teologis-ilmiah menjadi suatu ilmu yang emansipatoris?
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang bisa ditarik dari Hymne Yesus (Yoh. 1:14), di antaranya:
a. Firman dan Allah Bapa memiliki keberadaan dan kesatuan yang kekal. Implikasinya adalah Sabda dan Bapa memiliki identitas yang bersifat relasional.
b. Firman itu adalah sumber hidup bagi manusia.
c. Firman itu adalah terang dunia, dan kegelapan tidak dapat mengalahkannya.
d. Firman itu sudah rela turun ke dunia dan menjadi daging, yakni Yesus Kristus.
e. Firman Allah itu sangat berperan dalam proses penciptaan alam semesta (kosmos). Dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun yang jadi di antara semua ciptaan.
Dari ungkapan tersebut, maka jelas ada benturan antara Firman yang adalah terang dengan dunia yang gelap. Jadi tidak benar asumsi sejarah dialektis yang mengatakan bahwa kemajuan dalam peradaban manusia terjadi akibat benturan antara tesis dan antitesis (Hegel). Yang benar adalah ada benturan abadi karena dunia yang gelap cenderung menolak Sang Terang itu. Dengan demikian, kemajuan peradaban terjadi karena Terang itu sendiri yang memberikan terang-Nya kepada kegelapan dunia, sehingga dunia secara berangsur-angsur berubah menjadi semakin terang. Hal ini boleh dibayangkan mirip proses difusi atau osmosis.
Implikasi yang jelas di sini adalah mereka yang dipilih menjadi anak-anak Allah juga terpanggil untuk berkiprah dalam dunia, dengan aneka fungsi antara lain:
- fungsi kreasi: menciptakan kembali ketertiban,
- menerangi kegelapan dunia yang tidak mengenal Allah,
- memulihkan keteraturan di tengah kekacauan dunia (returning order),
- menjadi saksi bagi Kristus, Sang Firman
- menjahit dunia yang gelap dan penuh penderitaan (agak dekat dengan prinsip "tikkun olam" yang dipegang masyarakat Yahudi).
Logos sebagai inisiator aksi komunikatif
Dari teks Yoh. 1:1-14, kita dapat membaca bahwa Logos yang menjadi daging itu memanggil umat percaya untuk menjalankan fungsi emansipatoris, termasuk menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan komunikasi yang dialogis dengan sesama manusia, entah itu yang seagama atau bukan. Dalam konteks ini mungkin itu dapat dibandingkan dengan "communicative action" dalam filsafat Jurgen Habermas.
Menurut Habermas, yang dimaksud dengan aksi komunikatif adalah para aktor dalam masyarakat berupaya mencari pemahaman bersama dan mengoordinasikan tindakan melalui argumen yang beralasan, konsensus dan kooperasi dibandingkan langsung melakukan aksi strategi (Habermas 1984, Bolton 2005). Teori aksi komunikatif Habermas merupakan sintesis kritis dari teori-teori sosiologi terkemuka, terutama dari Parsons, Weber, dan Marx. Tujuan teoretisnya secara umum adalah menghubungkan teori aksi komunikatif sebagai salah satu varian dari teori aksi dengan teori sistem menjadi suatu pendekatan komprehensif pada teori sosial (27). Perlu dicatat bahwa teori sosial Habermas dan Marx memiliki banyak perbedaan yang mencolok, di antaranya bahwa paradigma Marx bergantung pada "ide materialisme dalam sosiologi", yaitu pada peran kerja dan cara-cara produksi dalam perubahan sosial sepanjang sejarah (27). Dengan adanya kritik Habermas terhadap teori kritis Marx ini, maka tampaknya pendekatan teologi pembebasan perlu dipertanyakan, termasuk juga gagasan Kristologi Kritis dari Leonardo Boff (Critical Christology). Namun, memang ada juga catatan kritis terhadap gagasan ranah publik Habermas, lihat (28).
Hipotesis saya adalah bahwa program aksi komunikatif yang diimpikan oleh Jurgen Habermas sebagai buah dari rasionalitas niscaya akan gagal karena dunia itu sendiri cenderung gelap, dan hanya bila Terang itu sendiri diijinkan menerangi dunia, maka aksi komunikatif itu menjadi mungkin. Jadi, menurut hemat saya aksi komunikatif hanya mungkin jika bertolak dari Kosmologi Kristologis.
Hal ini kiranya menjadi lebih jelas lagi dari etimologi mengenai kata theoros. Dalam budaya Yunani kuno, theoros adalah penonton (spectator) yang mengamati jalannya suatu perlombaan atletik kuno. Kemudian istilah itu dipinjam dalam konteks filsuf yang mengamati keteraturan dalam alam (Logos). Setelah ia mengamati maka diharapkan ia melakukan kontemplasi (theoria) yang akhirnya membawa pada perubahan hidup (mimesis). Atau seperti ditunjukkan oleh Kathleen Rushton, jika meminjam Remi Brague, kosmologi kuno bersifat retoris karena menyarankan aksi etis tertentu, atau suatu cara memandang dan berada di dalam dunia, lihat (5).
Hal ini agak kontras dengan Hymne Yesus, karena kita membaca bahwa bukan manusia (anthropos) yang aktif berusaha memahami keteraturan dunia, melainkan justru Logos itulah yang aktif bertindak dan berinkarnasi menjadi manusia. Ia rela hidup di tengah-tengah kegelapan dunia, dengan tujuan memulihkan hubungan dan komunikasi antara manusia dan Bapa. Dengan demikian, Logos itulah inisiator sejati akan aksi komunikatif yang bersifat praksis. Kita semua sebagai anak-anak Allah terpanggil untuk meneladan aksi komunikatif dari Sang Firman tersebut.
Meskipun para bapa gereja mulai Agustinus hingga Aquinas telah menganjurkan partisipasi gereja dalam ruang publik, demikian juga para pengikut Calvin modern hingga Herman Dooyeweerd (22), penulis kurang yakin apakah hipotesis oenulis bahwa aksi komunikatif yang sejati mesti dimulai dari Kristologi sudah pernah diusulkan sebelumnya. Sejauh ini penulis hanya menemukan satu buku yang membahas dukungan terhadap teori aksi komunikatif Habermas dari sudut pandang teologi (10). Lihat juga (11). Topik mengenai peran agama dalam ranah publik telah dibahas secara cukup mendalam di tempat lain, lihat (23)-(26).
Dari sudut pandang teologis, bahkan patut dipertimbangkan bahwa mungkin istilah yang lebih tepat bagi tindakan inkarnasi Yesus sebagai manusia adalah "communion action," bukan saja "communicative action", karena Yesus datang ke dunia untuk membawa manusia kembali "in communion with God." Hal ini mungkin bisa dihubungkan dengan pemahaman Catherine Mowry LaCugna terhadap Trinitas sebagai "Persons in communion". (20)
Dari sudut pandang teks Alkitab, memang tidak banyak ayat yang bisa diangkat untuk meneguhkan hipotesis ini, selain Amsal 29:18 yang berbunyi : "jika tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat." Artinya jika proses perkembangan masyarakat diserahkan pada dialektika sejarah, atau dalam bahasa ekonomi disebut sebagai mekanisme pasar, maka hasilnya hanyalah kekacauan belaka. Itulah yang akan terjadi jika masyarakat tidak diterangi oleh wahyu dari atas, yaitu sang Firman itu sendiri. Bukankah kita dapat belajar akan hal tersebut dari kekacauan finansial tahun 2008-2010 yang melanda Amerika Serikat dan beberapa negara maju? Salah satu diktum dalam teori ekonomi modern adalah bahwa liberalisasi finansial merupakan prekursor (awal) dari krisis.
Demikian pula, jika sebuah kota atau desa diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar dan tidak direncanakan dengan baik untuk menjalankan fungsi-fungsi emansipatoris melalui pengembangan demokrasi di tingkat desa dan kota guna mewadahi partisipasi masyarakat, maka hasilnya adalah kekacauan.
Satu hal lagi yang dapat dicatat di sini, adalah bahwa Kristologi kosmik sebagaimana terungkap dalam Hymne Yesus itu membuka kemungkinan dialog dengan umat beragama lainnya. Misalnya dalam ilmu kalam (muslim), Allah menciptakan dunia melalui Sabda-Nya (kalimat-Nya). Meskipun demikian, gelar Isa sebagai "Kalimatullah" dalam Quran (3:45, 4:171, 3:39) mungkin tidak sepenuhnya memiliki pengertian yang sama dengan pemahaman umat Kristen akan Yesus sebagai Sabda yang menjadi manusia. Namun, ini dapat menjadi salah satu titik temu untuk membuka dialog dengan umat Muslim. Untuk melihat wajah Yesus/Isa dalam Islam, lihat misalnya ref. (36).
Selain itu, dalam kepercayaan Hindu kuno diyakini bahwa alam semesta diciptakan oleh ucapan Brahma, sehingga muncul konsep tentang suara sakral (sacred voice). Sehingga ada pandangan bahwa Tuhan tidak lain menyatakan diri-Nya dalam suara yang berkesadaran (sound-consciousness). Lihat (21). Meskipun bukan pendekatan yang lazim, dari titik temu ini dapat dikembangkan penjelasan, bahwa Brahma agak dekat dengan konsep kristen tentang Bapa, sementara sacred voice itu dekat dengan konsep kristen tentang Yesus sebagai Firman Allah yang berkuasa menciptakan. Jadi, Hymne Yesus tentang "Sabda yang menjadi manusia" merupakan tandon makna (reservoir of meaning) yang luas untuk menjadi titik tolak perjumpaan dialogis dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.
Salah satu implikasi dari pemikiran yang disampaikan di sini adalah tentang Kristus, yang tidak saja rela berinkarnasi ke dalam dunia namun juga aktif berdialog secara terbuka baik dengan murid-murid maupun dengan orang-orang Yahudi yang skeptis. Hal ini tampaknya juga merupakan panggilan bagi gereja agar mesti lebih aktif berperan dalam ranah publik. Hal ini penting bukan saja dalam konteks menerangi dunia yang carut-marut dan kacau, tapi juga dalam rangka membangun saling pemahaman. Itulah makna dari aksi komunikatif dalam terang Kristologi Yohanin. Lihat (29)-(31).
Kesimpulan dan Implikasi (sementara)
1. Meskipun ada perbedaan, baik pendekatan Trinitarian maupun Kristologi dapat menjadi titik tolak untuk mengembangkan kosmologi yang dekat dengan biblika. Model kosmologi yang bertolak dari Trinitarian atau Kristologi memiliki implikasi etis-praktis, sementara kosmologi yang bertolak dari dentuman besar atau turunannya cenderung menempatkan manusia dalam posisi tidak berdaya di tengah panggung kosmis.
2. Baik pendekatan Trinitarian maupun Kristologi sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi titik tolak dialog dalam konteks pluralisme agama.
3. Adalah mungkin setidaknya pada tataran wacana untuk menggagas dan mengembangkan suatu konsep kosmologi bertolak dari pendekatan biblika atau teologi sistematika, yang berwatak emansipatoris. Artinya bukan sekadar ilmu kosmologi yang berisikan pengamatan (observasi) terhadap gejala-gejala alam, tapi juga mengundang pengamat untuk menjadi peserta (partisipan) dan berkiprah secara aktif dalam tindakan nyata. Itulah panggilan gereja untuk meneladan Kristus yang berinkarnasi dan bekerja di tengah dunia yang gelap.
4. Pendekatan materialisme dalam sosiologi maupun sejarah sebagaimana diusulkan oleh Marx tidak memadai sebagai model bagi masyarakat, karena mengabaikan peran penting komunikasi dan interaksi.
5. Dalam makalah ini tidak ada hal yang baru mengenai Trinitas maupun Kristologi. Meskipun penulis menggunakan istilah emansipatoris, tapi kata ini mesti dimaknai secara luas. Penulis bukanlah seorang feminis.
6. Meskipun penulis tidak sedang menganjurkan ajaran Injil Sosial (Social Gospel), tapi setidaknya gereja dapat mulai aktif membangun komunikasi intens dengan masyarakat misalnya dengan cara berdialog secara terbuka tentang isyu-isyu teologis dalam ranah publik (public sphere). Dalam interaksi yang dialogis itulah terbuka kesempatan untuk saling bertukar pemahaman tentang Trinitas, Kristologi dan lain-lain dengan umat beragama lainnya. Dialog semacam itu perlu ditempuh meski tentunya tidak membuat semua orang bertobat dalam sekali jalan. Dalam Yoh. 7:14-8:59 dikisahkan bahwa Yesus juga sering berkomunikasi secara terbuka dengan orang-orang Yahudi walaupun hasilnya mengecewakan.
7. Kini, berbagai sarana media online menyediakan ruang yang luas ke arah itu.
Dalam makalah ini, penulis hanya sempat menuangkan beberapa ide pokok saja, dengan harapan akan dapat memicu gagasan-gagasan yang lebih mendalam dari pembaca. Perkenankan penulis menutup tulisan ini dengan mengutip satu kalimat yang menurut rumor diucapkan Einstein: tahun ini semua jawaban akan berbeda. ("This year all answers are different.") Lihat (41)
Referensi utama:
(1) Robert C. Neville. Creation and the Trinity. Theological Studies Vol. 30 (March 1969), 3-26. Url: http://www.robertcummingsneville.com/robert-neville-articles
(2) Christos S. Voulgaris. The Holy Trinity in Creation and Incarnation. The Greek Orthodox theological review, vol. 42/3-4, 1997. url: http://www.apostoliki-diakonia.gr
(3) Russel Bradner Norris, Jr. Logos Christology as Cosmological Paradigm. Pro Eclessia vol. v no. 2
(4) John G. Gibbs. Pauline Cosmic Christology and ecological crisis. Journal of Biblical Literature Vol. 90, no. 4 (Dec. 1971), pp. 466-479. Url: www.jstor.org
(5) Kathleen P. Rushton. The Cosmology of John 1:1-14 and its implications for ethical action in this ecological age. Colloquium 45/2, 2013. url: http://brisbaneansatz.org/2014/02/16/colloquium
Referensi sekunder:
(6) Stanford Encyclopedia of Philosophy. Cosmology and Theology. http://plato.stanford.edu/entries/cosmology-theology/
(7) Karlina Supelli dkk. Dari kosmologi ke dialog. Bandung: Penerbit Mizan, 2010.
(8) Jurgen Habermas. The Theory of Communicative Action, 2 vols. Boston: Beacon Press, 1984.
(9) Roger Bolton. Habermas's theory of communicative action and the theory of social capital.
(10) Maureen Junker-Kenny. Habermas and Theology. New York: T&T Clark International, 2011. Lihat chapter 1, p. 1-40
(11) Nicholas Adams. Habermas and Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
(12) V-M. Karkkainen. Trinitas dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
(13) David A. Leeming. Creation myths of the world, second edition. Santa Barbara: ABC-CLIO, 2010.
(14) Eugenie C. Scott. Evolution vs. Creationism: An Introduction. Westport: Greenwood Press, 2004.
(15) Jerry Bergman. A brief history of intolerance in modern cosmology. Answers Research Journal 2 (2009): 1-9. Url: http://answersingenesis.org
(16) Ovidiu Christinel Stoica. The Friedmann-Lemaitre-Robertson-Walker big bang singularities are well behaved. Arxiv: 1112.4508 (2011). Lihat juga (16a) E.I. Guendelman, creating the universe without a singularity and the cosmological constant problem. Arxiv: 1306.4977 (2013)
(17) "The cosmos - before the big bang," New Scientist magazine, issue 2601, april 2007
(18) Wayne J. Hankey. Theoria versus poesis: Neoplatonism and Trinitarian difference from Aquinas, John Milbank, Jean-Luc Marion, John Zizoulas. Modern Theology15:4, october 1999
(19) Adrian E.V. Langdon. God the eternal contemporary: Trinity, Eternity and time in Karl Barth's church dogmatics. PhD dissertation to McGill University, 2008.
(20) Mary Catherine Hilkert. The Mystery of Persons in communion: The Trinitarian theology of Catherine Mowry LaCugna. Word and World, vol. xviii, no. 3, summer 1999.
(21) Irene Ludji. God as sound-consciousness. Indonesian Journal of Theology Vol. 2 No. 1 (2014), url: https://journalteologi.files.wordpress.com/2014/09/04-ijt-2-1-2014-god-as-sound-consciousness4.pdf
(22) David W. Hall. Calvin di ranah publik: demokrasi liberal, hak asasi, dan kebebasan sipil. Surabaya: Penerbit Momentum, 2009.
(23) The Holberg Prize Seminar 2005. Religion in the public Sphere. Ludbig Holberg Semina Fund, Seminar report, 2005.
(24) Jurgen Habermas and Christian Lenhardt. A postscript to knowledge and human interests? Philosophy of the social sciences 1973, 3:157. Url: http://pos.sagepub.com
(25) Jurgen Habermas. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: MIT Press, 1991.
(26) Jurgen Habemas, Religion in the Public Sphere. Url: http://www.sandiego.edu
(27) Ljubisa Mitrovic. New social paradigm: Habermas's theory of communicative action. Facta Universitatis, Philosophy and Sociology, vol. 2, no. 6/2, 1999, 217-223
(28) S. Susen. Critical Notes on Habermas's theory of the Public sphere. Sociological Analysis, 5(1), pp. 37-62. Url: http://openaccess.city.ac.uk/1101
(29) Stig Hjarvard. The Mediatization of Religion: a theory of the media as an agent of religious change. Paper presented to the 5th Intl. Confr. On Media, Religion, and Culture: Mediating religion in the context of multicultural tension. The Sigtuna Foundation, Sweden, 6-9 July, 2006.
(30) Mark Chaves and Philip S. Gorski. Religious Pluralism and Religious Participation. Annual Review of Sociology, Vol. 27 (2001), pp. 261-281. Www.jstor.org
(31) Veit Bader. Religious diversity and democratic institutional pluralism. Political Theory 2003, 31, 265. Url: http://ptx.sagepub.com
(32) Chad Meister. Introducing Philosophy of Religion. New York: Routledge, 2009. Chapter IV: Cosmological arguments for God's existence.
(33) Robert Letham. Allah Trinitas. Surabaya: Penerbit Momentum, 2011. h. 96-97
(34) M.C. Steenberg. Irenaus on creation: The Cosmic Christ and the Saga of redemption. Leiden: Brill, 2008. P. 63-64
(35) Vincent Brummer. Atonement, Christology and the Trinity: making sense of Christian doctrine. Hampshire: Ashgate, 2005. P. 97-107.
(36) Gregory A. Barker & Stephen E. Gregg. Jesus beyond Christianity: the classic texts. Oxford: Oxford University Press, 2010.
(37) Russell L. Friedman. Medieval Trinitarian Thought from Aquinas to Ockham. Cambridge: Cambridge University Press, 2010. P. 52-56
(38) Leon Turner. Theology, Psychology and the Plural self. Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2008; (38a) Karl Rahner. The Trinity. London: Burns & Oates, reprinted 2001, p. 115-118.
(39) Achmad Chusairi. Diri-jamak (plural self): diri dalam tinjauan psikologi diskursif. Jurnal Insan vol. 12 no. 01, april 2010 (ringkasan tesis di Fakuktas Psikologi UGM, Yogyakarta)
(40) Natalie Wolchover. What's the total energy in the universe? url: http://www.livescience.com/33129-total-energy-universe-zero.html
(41) According to story, one student came to Einstein and asked him: "The questions in this year's exam is the same with last years." "True," replied Einstein, "but this year all answers are different." see http://www.juliantrubin.com/einsteinjokes.html
(42) Ajat Sudrajat. Jurgen Habermas: Teori Kritis dengan paradigma komunikasi. Url: http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Ajat%20Sudrajat,%20Prof.%20Dr.%20%20M.Ag./Jurgen%20Habermas%20-%20Teori%20Kritis%20dengan%20Paradigma%20Komunikasi.pdf
(43) James D.G. Dunn. Did the first Christians worship Jesus? New Testament evidence. London: SPCK, 2010.
Versi 1.0: 7 juni 2015, pk. 3:36; versi 1.1: 9 juni 2015, pk. 7:29, versi 1.2: 15 juni 2015 pk. 00:51, versi 1.3: 21 juni 2015, pk. 22:36
VC, email: victorchristianto@gmail.com
Note: terimakasih khususnya kepada Pdt. Dr. B.A. Abednego (alm.) yang memperkenalkan penulis pada pemikiran Jurgen Habermas, sekitar 25 thn yang lalu. Juga terimakasih kepada Dr. Karlina Supelli atas tanggapan yang baik terhadap beberapa pertanyaan penulis melalui email. Banyak terimakasih dan respek kepada Prof. Liek Wilardjo (Salatiga) dan Prof. Eduardo I. Guendelman (Ben Gurion) yang telah menjadi rekan dialog sejak 2001. Akhirnya, terimakasih kepada Dr. Bambang Noorsena, SH. atas berbagai kesempatan diskusi serta penjelasan tentang hubungan antara Memra, Logos dan gelar Kalimatullah bagi Isa Almasih. Namun, pemikiran yang dipaparkan di sini merupakan hasil refleksi penulis secara independen. Tulisan ini belum pernah dikirim ke majalah atau jurnal mana pun.
Victor Christianto
*Founder and Technical Director, www.ketindo.com
E-learning and consulting services in renewable energy
**Founder of Second Coming Institute, www.sci4God.com
Http://www.facebook.com/vchristianto
Twitter: @Christianto2013
Phone: (62) 812-30663059
***Papers and books can be found at:
http://nulisbuku.com/books/view_book/9035/sangkakala-sudah-ditiup
http://www.unesco.chair.network.uevora.pt/media/kunena/attachments/731/ChristologyReloaded_Aug2016.pdf
http://fs.gallup.unm.edu/APS-Abstracts/APS-Abstracts-list.htm
http://independent.academia.edu/VChristianto
Http://researchgate.net/profile/Victor_Christianto/
Http://id.linkedin.com/pub/victor-christianto/b/115/167
http://www.amazon.com/Victor-Christianto/e/B00AZEDP4E
http://www.amazon.com/Jesus-Christ-Evangelism-Difficult-ebook/dp/B00AZDJCLA
Http://gospel.16mb.com
http://www.kenosis4mission.tk
http://www.twelvegates.tk
Komentar
Posting Komentar