KAHLIL GIBRAN, MUSLIM DAN SPIRITUALITAS SALIB

*KAHLIL GIBRAN, MUSLIM DAN SPIRITUALITAS SALIB+)*

Oleh *Bambang Noorsena*

+) _Rewriting_ dari salah satu bab dari buku saya, *_Khalil Gibran Yesus Yang Disalib_* (Jakarta: Penerbit Nisita, 2004).

Siapa yang tak kenal *Kahlil Gibran?* Dulu banyak orang menyangkanya Muslim, mungkin gara-gara ia berbahasa Arab. Terlahir di Lebanon dengan nama *Jibran Khalil Jibran*. Ia Kristiani, namun spiritualitasnya melintas batas, meski sedikitpun tak menggeser Yesus dari singgasana jiwanya.

Gibran hanya tak rela Yesus dimonopoli oleh orang Kristen. Jagoannya dari Galilea itu hadir dimana-mana, kapan saja Dia mau. Para filsuf *“perennial”* menyebutnya *_“passing over”_ (melintas batas)*, beriman melampaui agama.

Laksana menatap ambang cakrawala tanpa batas, tiada pernah henti Gibran bercakap dengan-Nya. Bersama dengan Jalaluddin Rumi, Gibran mendendangkan *_"dîn al-Mahabbah”_ (agama cinta)*. Dan berlama-lama dengan para yogi India, iapun duduk bersila mendaras *Upanishad*.

Ya, Gibran membaca dari mana saja dan tentang apa saja. Sang pujangga tak lagi memandang baju, tetapi isi. Dan tak sekedar simbol, lebih direngkuhnya substansi.

*Lalu apakah yang dikatakannya tentang salib?* Dengarlah, bagaimana ia merintih perih, kala kemarau kerontang membakar pepohonan di bukit Lebanon.

Suatu pagi, sembari melayangkan matanya ke bebukitan yang dipujanya sebagai *bukit Araz Allah:*
         
*_"Mâta ahlî ‘alash shalîb”_ (Keluargaku telah mati di atas salib),* katanya memecah keheningan. *_“Mâtû liannahum lam yakûnû mujrimîn. Mâtû liannahum lam yadhlumu dhalimîn, mâtû liannahum kânû muslimîn”_* (1) (Mereka mati bukan karena mereka penjahat. Mereka mati bukan karena mereka berbuat zhalim. *Mereka telah mati justru karena mereka adalah muslimin).*

Haa….keluarganya mati, di tiang salib lagi…. Lebih gilanya, *"Itu karena mereka Muslim?”* Bukankah Gibran seorang Kristiani? Kakeknya, *Estefan Rahmeh*, _abuna_ (romo) *Gereja Maronit, rumpun Kristen Syria yang mengakui takhta suci Roma.*

Tetapi semua itu benar adanya. Seperti pemaknaannya tentang kehadiran Kristus secara kosmis yang merangkul semesta raya dan umat manusia, Gibran memaknai muslim secara generik sebagai sikap *_aslam,_ “pasrah diri kepada Ilahi”.*

Matanya bening menatap langit luas, bukan hanya _langit-langit_ setiap rumah agama yang beragam, beda dan berbatas. Bukankah pasrah diri adalah substansi agama sejati? Uniknya lagi, Gibran menggapai *_“aslam”_* dan *"muslim”-nya* justru dari Yesus melalui *Via Dolorosa-Nya?*

Salib adalah teladan paripurna *_totally surrender unto God_*, puncak *sumendhe kersa-Ne Allah*. _“Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib”_ (Filipi 2:8). *“Dengan tangan-Nya yang terentang di kayu palang”,* tulis Gibran dalam *_Yuhanna al-Majnûn"_* *"maka telah dirangkulnya kemanusiaan?”*.


Nyatanya, Sang Pujangga tak hanya merasakan kehadiran-Nya secara sakramental melalui ekaristi, tetapi juga pada bocah-bocah lapar yang berebut setangkai gandum di kemarau panjang Lebanon dengan kebun-kebunnya nan layu.

Ya, salib suci-Nya juga dipikul oleh perempuan-perempuan yang karena nyaris terkapar menjerat burung-burung terbang di langit kota Bishari. Senandung Gibran adalah cinta, senyuman dan rengkuh pelukan kepada *"saudara-Ku yang paling hina”.* Dan itu juga *_Shaut an-Nabi_ (suara sang Nabi)* yang melawan kedzaliman para tiran yang congkak jumawa, miskin hati dan pudar cinta.

Dan kala di puncak murka Kalvari mendera raga lunglai itu, membuncah sumarah sebagai *_syahadat kemusliman-Nya_*: *"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku”.* *_" Qȃla hadzȃ”_ (Itu kata Dia),* *_"wa aslama ar-ruh’ …._* (2)  *lalu di-“aslam”-kan nyawa-Nya,* diserahkan semua, ludes sudah tanpa sisa. 

Hakikat salib adalah *_“aslam”_*, itu cakap Arab orang Lebanon, serumpun bahasa Suryani *_"Hade emar w’ashlem”_* (3) bila merunut *“Ipsisima fox Jesu"* (4)  senarai kata yang keluar dari lisan suci-Nya. 

Ya, terlepas dari kau akui atau tidak historisitas salib-Nya. Tak mengapa. Pesan Kalvari adalah *kesemestaan kasih, dan puncaknya adalah sumarah tak berambang batas, kurban kasih tanpa syarat, dan persaudaraan tanpa sekat:*

*“Kau adalah saudaraku, aku mencintaimu. Ya, aku mencintaimu kala kau bersujud di masjidmu, kala kau berlutut di gerejamu, dan kala kau ber-"tefilah" di sinagogamu”*.

Dalam *Jalan Sengsara yang telah dilewati-Nya* itu, Dia telah merangkulmu sebagai saudara-saudari. *Dan kita semua adalah putra-putri Bapa surgawi yang satu.*¶


*CATATAN AKHIR*
(1)  Anthunius Bashir (ed.), *_Al-Majmu’at Al-Kâmiilat li Ma’ulifât Jibran Khalîl Jibran_* (Beirut: Dâr al-Jîl, 1979), hlm. 28-29.
(2) Kutipan dari Injil Lukas 23:46, terjemahan bahasa Arab: *_Al-Kitȃb al-Muqaddas._* Good News Arabic Bible (Beirut: Dȃr Al-Kitȃb al-Muqaddas fî  al-Syarq al-Ausath, 1993).
(2) Kutipan dari Injil Lukas 23:46, teks Peshitta Syro-Aramaik: *_Ktobo Qadisho_* (Damascus. Suriyah: Dȃr Al-Kitȃb al-Muqaddas, 1981).
(4) *_“Ipsissima fox Jesu”_* adalah ungkapan dari bahasa Latin yang artinya *“suara asli Yesus”,* yang biasa diterapkan dalam studi kritis Alkitab.

*Malang, Jumat Agung, 10 April 2020*
Dr. Bambang Noorsena

Komentar